Apakah harus Uji Cocok Serasi (2)

Seri Layanan Darah (3)Apakah tabel di bawah ini “betul”? Jawabannya tentu tidak sederhana. Hanya kalau mengacu pada prinsip “memberikan pelayanan dengan kemampuan tertinggi”, tentu ada banyak hal yang perlu direnungkan. Terutama terkait dengan apakah harus Uji Cocok Serasi?

Sebenarnya sudah banyak yang paham soal Uji Cocok Serasi (adopsi dari kata Cross-Match). Prinsipnya melakukan uji secara ex vivo terhadap percampuran darah donor dan darah resipien/pasien. Komponen utama darah adalah sel dan serum. Mayoritas sel – hampir total bila dilihat perbandingannya – diwakili oleh eritrosit. Karena itu, prinsip cocok-serasi adalah “apa yang akan terjadi bila eritrosit dan serum donor bertemu dengan eritrosit dan serum pasien”.

Dalam pertemuan itu, fokusnya adalah “apakah berisiko terjadi ikatan aglutinasi dan berlanjut ke lisis eritrosit”. Pemicunya adalah ikatan antigen-antibodi. Dalam hal eritrosit dan serum, antigen utama adalah Antigen A dan B di permukaan eritrosit, dengan anti-A dan Anti-B yang ada di serum. Kalau terjadi ikatan, berarti berisiko memicu aglutinasi dan lisis. Itu prinsip utamanya, sehingga kecocokan golongan darah menjadi uji pertama.

Setelah itu lolos, kita juga harus sadar bahwa sebenarnya dalam darah itu tidak hanya Antigen A & B maupun anti-A dan B saja yang ada. Masih ada kemungkinan antigen dan antibodi lain yang bila kebetulan bersesuaian dengan kondisi pada “pasangannya” – dalam arti antara donor dan pasien – maka tetap berisiko aglutinasi. Antara antigen dan antibodi yang ada itu, peran antibodi lebih menonjol karena antibodi yang bisa memicu ikatan antar eritrosit (dengan minimal 2 kakinya). Kalau antigen di permukaan eritrosit, tidak akan memicu aglutinasi selama tidak ada antibodi yang berikatan dan kemudian mengikat eritrosit lainnya.

Di antara antibodi itu ada yang bersifat incomplete. Gampangnya, mereka baru aktif bila pada atau ada kondisi tertentu. Karena itu dicobakan dengan penghangatan, penambahan protein tertentu dan pemusingan. Semua untuk mencoba sejauh mungkin meniru kondisi alamiah yang akan dihadapi saat darah donor benar-benar bercampur dalam tubuh pasien. Begitupun, tidak pernah uji ex-vivo akan benar-benar meniru secara total kondisi in-vivo. Pasti tetap ada risiko yang tidak bisa disimulasikan. Karena itulah, walaupun sudah lolos uji Cocok Serasi, tetap saja ada risiko yang harus diwaspadai ketika benar-benar darah dono ditransfusikan. Hanya memang benar juga bahwa uji cocok serasi secara maksimal, tentu meminimalkan risiko yang masih mungkin terjadi tersebut.

Bagaimana dengan teknis “O universal”? Eritrosit bergolongan O berarti tidak memiliki antigen A maupun Antigen B pada eritrositnya, disertai adanya anti-A dan anti-B pada serumnya. Dengan kondisi ini, ada harapan bahwa bila hanya eritrositnya saja yang ditransfusikan, maka tidak ada risiko ketemu anti-A dan anti-B yang mungkin ada pada serum pasien. Dari titik inilah, pilihan untuk tetap memberikan sebagai komponen PRC mendapat dasar pijakannya.

Apakah asumsi tersebut selalu benar? Apakah berarti tidak perlu lagi uji cocok serasi? Kita tetap harus ingat bahwa pada eritrosit bergolongan O, tetap ada kemungkinan antigen selain A dan B. Juga pada serum pasiennya ada kemungkinan antibodi selain A dan B. Karena itu lah, tetap diperlukan uji cocok serasi. Bahkan seandainya golongan O diberikan kepada pasien golongan O sekalipun, tetap perlu uji cocok serasi.

Itu prinsip dasarnya. Tentu kaidah etik kedokteran adalah memberikan sesuai keilmuan tertinggi. Karena itu lah – menurut saya karena tidak terlibat dalam penyusunannya – PP 7/2011 mengharuskan semua pemberian transfusi melalui uji cocok serasi. Bagaimana dengan kondisi emergensi? Sudah sedikit banyak dibahas pada kondisi kemarin. Prinsipnya adalah: memberikan terbaik yang mungkin diberikan dengan prinsip risk-and-benefit tertinggi yang bisa diraih. Dalam kondisi ini lah kemudian diambil “kemungkinan benefit dari pemberian darah O universal daripada tidak mendapatkan sama sekali bahka bila terpaksa tidak dapat dilakukan uji cross-match terlebih dahulu”. Dalam kondisi inilah, kita berpegang pada Aturan Persetujuan Tindakan Medik.

Dalam diskusi kemarin, sudah kita munculkan tentang “persetujuan di awal untuk ha-hal yang diduga mungkin terjadi selama pemberian tindakan”. Kan bisa saja terjadi yang tidak diduga? Betul, tetapi juga kita harus sadari, yang ekstrem itu selalu jarang. Karena jarang, maka harus menjadi pelajaran untuk dicacat dan dirumuskan agar tidak terulang. Dalam bahasa hukum – kalau tidak salah – ini menjadi suatu yurisprudensi. Dalam hal inilah – menurut saya – peran penting dari Panitia Transfusi Darah RS.

Hal-hal terkait aturan di atas adalah pemahaman saya. Mangga tolong ikut mencermati PP 7/2011 tentang Pelayanan Darah, juga UU 44/2009 tentang RS, Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan KEdokteran dan Permenkes 290/208 tentan Persetujuan Tindakan Medis (memperbarui Permenkes 585/2989). Repot barangkali, tetapi melihat kondisi sekarang, kalau kita tidak mau repot berusaha memahami, rasanya menjadi berisiko juga ya?

Mangga.