Bagaimana menghadapi pasien "pinter"?

Jaman sekarang, pasien makin pinter, karena sumber informasi makin banyak, terutama dari internet. Bagaimana dokter menghadapinya?

(Sorry ya kalau campur bahasa Inggris, bukan apa-apa, nulisnya pas lagi mabuk harus nulis ng-English)

Perkembangan sekarang dengan era internet dan e-health, menonjolkan sekelompok pasien yang empowered, reasoning and demanding. Ini adalah kenyataan. Dokter tidak bisa dan memang tidak perlu menghindarinya.

Di sisi lain, adalah kenyataan juga bahwa ada disparitas kesempatan untuk mendapatkan informasi kesehatan secara online. Seperti beberapa kali saya singgung, yang bisa ikut milis kesehatan dan membuka situs informasi kesehatan kira-kira hanya 15% dan itupun in scarce locations. Ini menimbulkan yang disebut “digital divide”. Akibatnya pasien datang ke dokter dengan “bekal dan target” yang berbeda-beda.

Menghadapi ini, ada 3 pilihan model bagi dokter di lapangan:

1. Medical model. Intinya dokter bergeming pada pendapat bahwa “diagnosa, terapi dan advise medis” hanya bisa diberikan pada face-to-face interaction and cannot be delivered through online interaction, at least not in the same level. Pada model ini, dokter juga berpegang pada prinsip etika kedokteran “first do no harm” (primum nil nocere). Memberikan diagnosa, terapi dan advise tanpa mengetahui persis kasusnya, dianggap rentan “to do harm”. Apalagi kondisi kita di Indonesia, mungkin bagi sebagian (besar) dokter memang favoring to unconsciously choose this model.

2. Patient-oriented model. Dokter menempatkan pasien sebagai konsumen dengan prinsip memenuhi apa yang diinginkan oleh konsumen. Ibaratnya, apa keinginan pasien dituruti, sampai pasien puas. Masalahnya, berarti untuk pasien yang “empowered” dokter harus mengalokasikan “services” lebih dibandingkan kelompok lain. Dari sisi akses, ini berarti tidak adil bagi kelompok yang ter-disparitas (berada di sisi lain dari digital divide). Karena itu, model ini hanya bisa dijalankan kalau kelompok empowered-patient masih relatif minoritas. Juga, prinsip memberikan equalisasi bagi semua pasien tidak tercapai. Termasuk dalam kacamata sempit, apakah berarti different service juga merasionalkan adanya different fee?

3. Educational model. Dokter mengambil langkah “smart”. Tidak sekedar “first do no harm” tetapi try to do a good for and protect the patient. Patients frequently have a lot of time to do a specific and focus searching through internet on what medical concern he/she is suffering from or paying attention to. The doctor might not have that much time, but doctor do have a skill and knowledge to analyze and assess the information`s relevance to the particular patient. It is at least an ethical duty for doctor to protect the patients from misunderstanding or becoming lost in complexity and amount of medical information.

Menjelaskan semua hal kepada semua pasien agar semua mendapatkan informasi yang berimbang, tentu sangat-sangat time and energy consuming. Langkah yang “smart”: Buat situs sendiri. Dengan demikian, banyak pertanyaan yang senada, satu kelompok, bisa dirangkum kemudian dokter bisa menjawabnya dalam satu tulisan (dengan referensi secukupnya). Di dalamnya ditunjukkan situs-situs yang credible dan relevance sebagai guidance bagi pasien saat melakukan searching yang lebih mendalam. Selanjutnya, kepada pasien yang empowered,
tinggal ditunjukkan alamat situs ini. Sedangkan kepada pasien yang kebetulan tidak memiliki akses, dokter memberikan print-outnya sambil tetap mendorong untuk mencoba membuka situs tersebut.

Tentu ini perlu investasi, tetapi tidak sedikit laporan mengatakan bahwa pada akhirnya dokter tersebut justru makin “tenar”. Sekaligus, tanpa sadar, untuk bisa memberikan situs yang “baik” tentu dokter harus melakukan recaling, updating and re-collecting datas from many resources. Model ketiga ini yang dianggap smart for doctor to choose.

Pada prakteknya, ketiga model ini tidak harus berjalan terpisah. Semua sesuai dengan kondisinya agar didapatkan kepuasan tertinggi baik bagi dokter maupun pasiennya. Pada akhirnya tentu diharapkan, baik dokter maupun pasiennya, mampu mencapai tahap yang lebih baik, menuju ke educational model, tanpa harus membuat dokternya malah tidak bisa bekerja dengan optimal melayani pasien.

Menuju ke “educational model” tentu harapan semua. Tanpa bermaksud membela diri, itu semua tentu perlu proses, dan to some points, market trend might be a strong pressure that doctor do not have much choices but try to accommodate. Masalahnya, tidak sedikit (bahkan sebagian besar) dokter yang juga turut menjadi korban dari “digital divide”.

Begitupun, tidak diharapkan pula bahwa being empowered patient does not mean we have the power to dictate what doctor should do. It is just that we have more reasons to believe what choice(s) might give us best outcome.

Masalah yang kemudian timbul, setelah membuka diri di “internet”, then shortly doctor will have to deal with unsolicited emails from ones that the doctor have never met. And that`s another story for doctor to smartly accommodate.

Let`s be smart in coping with different expectation.