Masih soal “Tes Keperawanan”: ternyata tidak seburuk yang kita duga

Melanjutkan tentang “tes keperawanan”, sudah ada penjelasan dari Kepala Dinas Pendidikan Prabumulih. Alhamdulillah, bila demikian, tidak se”marak” yang kita duga. Inisiatif itu juga muncul dari orang tua siswi. Kepala Dinas Pendidikan juga tidak sepakat kalau diberlakukan seluruh siswa, karena “… kalau itu jelas saya tidak setuju. Keperawanan kan soal kehormatan”. Clear. Semoga tidak lagi menjadi gelombang yang liar tak terkendali dan ditanggapi serta merta kemana-mana. Amin.

Sebenarnya, hal ini bukan yang pertama. Kita juga pernah diributkan – dan nampaknya beberapa kali – misalnya: siswi hamil terpaksa dikeluarkan, atau siswa terlibat kriminal menjadi tahanan atau narapidana terpaksa dikeluarkan atau sulit ikut ujian. Dalam hal spt ini, hampir selalu yang terjadi kita menyalahkan pihak sekolah. Menyudutkannya dengan kata-kata “hak memperoleh pendidikan dilindungi undang-undang”.

Memang benar. Hanya mari kita coba berpikir dari sisi sekolah. Begitu ada siswa yang hamil di – apalagi di luar nikah – atau terlibat kriminal, maka ekses negatif segera terasa bagi mereka: sekolah dituding tidak becus, teledor, kurang disiplin, tidak bisa mendidik, dsb. Ekses selanjutnya: sekolah itu disingkirkan. Apalagi kalau sekolah swasta. Siapa yang membela mereka untuk kondisi itu? Akibatna, sekolah cenderung memilih sikap defensif, membela diri, memperkecil risiko.

Padahal, anak-anak kita berada di sekolah hanya sekitar seperempat daur hidupnya dalam sehari. Atau kalau dimaksimalkan sekitar sepertiga. Selebihnya, dia ada di rumah dan di masyarakat. Kemana tanggung jawab kita kalau kemudian selalu sekolah yang disudutkan? Sekolah – dan Dinas Pendidikan – memang ikut bertanggung jawab. Tetapi kita yang sebenarnya lebih besar porsi tanggung jawabnya.

Bagaimana kalau kita mencoba berdiri sebagai orang tua di sekolah yang kebetulan menghadapi kasus spt itu. Malam ini saya merenung, karena terulang kembali kejadian pada anak saya yang masih TK. Ada satu temannya, laki-laki, berbadan bongsor. Kebetulan, anak ini suka sekali memukul atau menempeleng temannya, tanpa alasan. Pokoknya pukul saja sambil tertawa-tawa. Hampir semua temannya pernah menjadi sasaran korbannya. Termasuk anak saya. Tidak sekali dua kali. Ada masa anak saya ngambek tidak mau masuk. Usut punya usut, sangat mungkin karena perilaku kasar temannya itu pula. Pernah suatu kali, anak saya pulang menangis karena temannya itu. Bukan karena dipukulnya semata. Tetapi lebih karena ketika dia dipukul temannya tersebut, sekali itu spontan dia membalas. Eh, anak itu kembali memukul. Anak saya pun bermaksud membalasnya sekali lagi. Tetapi anak saya dilarang dan ditahan oleh gurunya. Itu yang membuatnya menangis. Dia merasa gurunya tidak adil. Dia merasa takut harus masuk sekolah lagi.

Bagaimana perasaan kita sebagai orang tua? Bagaimana kalau ini terjadinya pada anak kita di level SD, SMP atau bahkan SMA? Akankah kita juga masih dengan ringan berkata “yang terlibat kriminal itu tetap berhak sekolah, tidak boleh dikeluarkan, apapun alasannya”?

Mari kita bantu sekolah untuk dapat memutuskan tindakan dengan bijak. Tidak bijak kalau kita serta merta menyudutkannya. Mari kita bebaskan sekolah dari kecenderungan bersifat defensif.