Tentang FPI: benci tapi rindu…

Saya tanya ke diri saya sendiri soal FPI. Sejurus kemudian yang muncul di benak saya adalah kenyataan bahwa kita juga pernah punya AMPI, FKPPI, PP, Satgas parpol, Satgas Ormas, organisasi atas nama daerah tertentu dan yang sejenisnya. Pasti, tidak ada yang memiliki AD/ART jelek. Semua bertujuan baik. Anggotanya banyak, bahkan banyak sekali karena cenderung cair, tidak terseleksi secara ketat. Punya bendera dan seragam khas. Biasanya mengacu pada seragam “aparat”.  Punya salam khas. Punya pameo atau jargon yang khas. Pokoknya gagah, indah dan membanggakan.

(Gambar sebelah adalah satu contoh penjualan miras secara bebas di sebuah toserba kecil atau minimart 24 jam, di pinggiran sebuah kota)

Namun memori yang mudah muncul pertama kali tentang organisasi seperti itu adalah: kecenderungan untuk memupuk kebanggaan berlebihan pada diri atau kelompok sendiri. Berlanjut menjadi: saya yang benar, bahkan paling benar, karena jelas tujuan saya baik. Ditanya tentang organisasi sejenis yang lain, minimal jawabannya “nggak tahu” atau “nggak jelas”. Atau lebih jauh lagi, yang lain itu dicitrakan sebagai lebih jelek.

Apakah itu yang ada di AD/ART? Jelas tidak. Namun kalau berpapasan dengan rombongan mereka di jalan, itu yang tergambar. Baik barisan truk bak terbuka penuh sesak, konvoi jeep mirip tentara sambil penumpangnya berdiri, parade kendaraan bermotor sambil suaranya meraung-raung dan sebagian besar tidak mentaati aturan berlalu lintas, atau barisan jalan kaki memenuhi badan jalan. Saya juga pernah mencicipi sedikit rasa bangga yang cenderung berlebihan itu. Apakah semua anggotanya seperti itu? Pasti tidak. Saya yakin lebih banyak yang tetap dalam barisan teratur sesuai AD/ART yang memang sebenarnya baik itu.

Tetapi dengan sebaran anggota sekian banyak dan sekian luas, siapa yang bisa menjamin. Dengan pergesakan kepentingan di lapangan yang begitu dinamis, siapa yang bisa menjamin. Saya dan – sekali lagi saya kira – kita merasakannya. Apapun itu, dan organisasi sejenis itu, yang manapun, bukan monopoli satu atau dua organisasi saja.

Kalau ada suatu masalah, bahkan yang sebenarnya bukan urusannya, atau bahkan yang bersifat individual – artinya persoalan pribadi anggota, pendekatannya adalah: kita ini satu keluarga. Satu disakiti, semua disakiti. Satu disakiti, semua harus melawan. Kalau perlu dengan cara yang jelas menunjukkan pesan sentral: kami lebih berani, kami lebih kuat, kami lebih solid, jangan macam-macam dengan kami. Perkara “tindakan”nya tidak sesuai koridor, itu soal nanti. Apalagi kalau kemudian ada keyakinan “tokoh itu senior kita juga kok” atau lebih jauh “lah wong beliau diam-diam sudah merestui kok”. Tentu saya tidak bisa menunjukkan bukti secara material. Tetapi saya – dan barangkali sebagian besar dari Anda – juga merasakannya.

Terhadap FPI, saya terus terang merasa benci tapi rindu. Yakin, tidak ada yang salah dengan AD/ART FPI. Juga bahwa tidak selalu linier dengan kekerasan. Toh kemarin mereka berjuang melalui jalur legal formal dalam hal aturan tentang perdagangan/peredaran miras, dan mereka berhasil. Kemana saya – dan kita-kita ini – waktu mereka berjuang di jalur itu? Atau ketika mereka – walau dengan cara yang secara hukum salah – merusak tempat-tempat yang seharusnya tidak memperdagangkan miras, lokalisasi atau perjudian liar? Kenapa kita jadi terlalu mudah menuding ketika terjadi kekerasan di ujungnya tanpa sempat menilik rentetan kejadiannya?

Saya – untuk tidak membuat Anda terlalu tersinggung – merasa tidak fair. Saya tidak setuju miras diperdagangkan bebas. Saya miris. Tetapi ternyata saya tidak berani bertindak. Bahkan untuk mendesak aparat agar bertindak pun saya ternyata kerdil. Ada rasa puas ketika FPI – apapun dan siapapun yang sedang membawa bendera nya itu – bertindak sendiri. Bagaimana dengan hati kecil Anda?

Pada banyak kondisi, justru akhirnya saya – dan mungkin juga Anda – lebih terjebak untuk menghujat tindak kekerasannya itu, tetapi lupa esensi perdagagan bebas mirasnya. Atau perjudiannya. Atau perilaku sosial lain yang sebenarnya memang meresahkan hati kecil kita.

Tentu saya tidak menutup mata, ada laporan soal anggota FPI yang jadi “jasa keamanan” dan sejenisnya. Saya yakin itu ada, bukan cap keseluruhan tentunya. Tetapi ini juga terjadi sebagaimana pada organisasi sejenis tadi, bahkan oknum aparat juga. Sekali lagi, hal ini – maaf – seperti bau WC saja memang: sangat terasa tetapi sulit dibuktikan wujudnya.

Untuk itu tentu saja, saya jauh lebih senang kalau aparat yang menegakkan aturan. Saya juga tetap mendorong agar pelaku kekerasan itu diproses secara hukum. Siapapun itu, dan apapun alasannya: ideologis, politis apalagi kepentingan pragmatis. Tetapi saya juga menganggap bahwa “pembiaran oleh aparat terhadap perdagangan miras bebas – dan yang sejenisnya itu – juga suatu kelalaian terhadap tugas dan kewajiban mereka”. Harus ada tindakan (hukum) juga untuk kelalaian itu. Apa bentuknya, minimal saya – dan Anda – berhak atau bahkan wajib mengingatkannya.

Ataukah, sebagaimana saya – dan barangkali Anda -, (sebagian) aparat itu juga diam-diam benci tapi rindu pada apa yang dilakukan oleh (sebagian) FPI itu? Tidak harus di posisi dilematis menghadapi masalah sosial walaupun itu sebenarnya tugasnya, dan memilih membiarkan organisasi seperti FPI saja yang menanggung tudingan buruk? Semoga tidak demikian. Tapi, entahlah…

Mari kita jawab di hati kita masing-masing.

Nuwun.