Haruskah Uji Cocok Serasi?

Seri Layanan Darah (2): ditulis 8 November 2013

Seorang sejawat bertanya ttg bagaimana bila dilakukan pemberian transfusi tanpa uji cocok serasi krn kondisi emergensi? Dicontohkan oleh Sejawat tersebut, ada kasus seorang SpOG yang dituntut akibat reaksi transfusi tanpa uji cocok serasi.

Peraturan yang – sependek saya pahami – terbaru untuk masalah ini dapat dibaca pada pasal 16-19 PP 7/2011 ttg Pelayanan Darah. Intinya uji cocok serasi bersifat HARUS dan bila tidak dilakukan berarti pelanggaran dgn sanksi mulai administratif sampai pencabutan ijin. Dalam prakteknya secara logis bisa diikuti penerapan sebagai tindak pidana, artinya kalau terjadi masalah, bisa dijadikan sandaran untuk suatu tuntutan pidana.

Bagaimana bila kondisi emergensi? Dalam standar Akreditasi RS versi 2012 dan aturan terkait (karena sebenarnya standar akreditasi selalu mendasarkan pada aturan terkait yang sudah ada), pelayanan darah mendapat tempat penting. Pada standar Hak Pasien, pemberian transfusi merupakan salah satu dari 4 hal yang harus mendapatkan persetujuan pasien. Harus diperoleh informed consent, tidak cukup dengan general consent for treatment. Standar lain juga banyak menyinggung soal pelayanan darah termasuk Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

Yang berkaitan erat dengan pertanyaan Aris Handono, ada pada Standar Pelayanan Anesthesi dan Bedah (tanpa harus diartikan hanya menyangkut bidang bedah dan anesthesti, tetapi maksudnya mencakup semua layanan anesthesi dan tindakan pembedahan). Standar menyatakan bahwa bila ada kemungkinan diperlukan tindakan transfusi, maka harus diberitahukan kepada pasien dan keluarga, sebelum dimulainya tindakan. Tentu sekaligus informed consent-nya.

Pada prakteknya, bila sudah diperkirakan kebutuhan, maka BDRS/UTDRS harus diminta menyiapkannya. Kesiapan ini diklarifikasi saat melakukan Sign-in sebelum tindakan pembiusan dimulai. Cara yang lazim dipakai, BDRS akan melakukan uji cocok-serasi lebih dulu, tetapi darah masih disimpan di BDRS. Bila nanti benar dibutuhkan, maka tinggal dibawa ke ruang tindakan. Bila ternyata tidak jadi dipakai, atau tidak semua kantung jadi dipakai, maka biaya yang dikeluarkan hanya untuk uji cocok-serasi saja.

Bagaimana kalau ada kasus seperti paparan seorang Sejawat ini:

“Pernah alami seorang pasien yg butuh tranfusi sktr 30 colf dlm rentang 2 jam dlm kondisi emergency. Apakah setiap saat tersedia darah yg sudah uji kecocokan dan keserasian dlm jumlah yg cukup? Lalu berapa lama waktu yg dibutuhkan untuk tiap colf darah diuji kecocokan dan keserasian?”

Waktu untuk uji cocok serasi bervariasi. Bila lancar, dalam arti tidak ada masalah kecocok serasian, maka cukup dalam waktu maksimal 1 jam. Tetapi bila ada masalah, tentu menjadi lebih panjang. Lantas bagaimana mengatasi kasus spt di atas? Tentu, selalu ada diskresi dalam setiap peraturan. Kondisi yang ada memaksa tindakan emergensi. Dalam hal ini yang penting komunikasi dengan keluarga harus maksimal dilakukan, dengan memperoleh informed consent. Termasuk bahwa kemungkinan terpaksa memberikan darah tanpa sempat melewati uji cocok serasi, namun sejauh mungkin tetap mencari kecocokan golongan darah. Maupun pada kondisi yang lebih berat lagi, terutama kemampuan penyediaan darah oleh UDD PMI setempat, menggunakan prinsip O universal. Dalam PP 7/2011, tidak ditemukan klausul secara rinci bagaimana menghadapi kasus khusus atau emergensi. Dalam pandangan saya, ini menjadi wilayah Komisi Nasional Pelayanan darah (Kepmenkes 1262/Menkes/SK/XII/2009) untuk menyusun panduan.

Namun yang jelas, kasus ekstrem seperti ini tentu jarang. Namanya saja ekstrem. Untuk itu aturan secara umum harus dibuat ketat. Dalam kondisi memaksa, tentu saja keputusan itu ada pada klinisi yang menghadapinya. Secara praktek lokal, bagaimana agar tidak terjadi kegamangan pada kondisi spt itu, di rumah sakit harus dibentuk Panita Transfusi Darah. Selanjutnya disusun prosedur sebagai kesepakatan bersama multi disiplin, ditetapkan sebagai Prosedur Standar (Panduan Praktek Klinis, Alur klinis, Algoritma maupun protokol).

Secara berkala Panitia Transfusi melakukan analisis terhadap pelayanan darah. Misalnya, apakah perkiraan kebutuhan darah pra tindakan, bersesuaian dengan kebutuhan sebenarnya. Dengan analisis ini, klinisi akan mendapat banyak informasi untuk mendasari keputusan klinis pada kasus-kasus selanjutnya.

Mangga.