(1) Virus, sistem imun dan antibiotika

(Sering terlontar kalimat “itu kan virus, ngapain dokternya ngasih antibiotika” di milis. Tulisan ini berusaha memperjelas masalahnya. Maaf, terpaksa lumayan panjang semata-mata agar meminimalkan bias. Isi tulisan ini bukanlah sesuatu yang “baru” bagi para Sejawat, anggap saja ini tulisan ringan selepas kerja).

Kalau kita menganggap secara sederhana unit kehidupan terkecil adalah sel, maka sebenarnyalah si virus ini hanya “setengah hidup”. Kalau bakteri memiliki perangkat lengkap DNA dan RNA, si virus hanya punya salah satu saja. Karena setengah hidup, maka antibiotika – anti terhadap yang “bio”, yang hidup – tidak mempan melawan virus.

Namun, karena sifat “setengah hidup” ini pula, virus butuh sel yang hidup untuk “ditumpangi”. Begitu masuk tubuh manusia, segera si virus mencari sel manusia untuk tumpangan. Setelah masuk sel, si virus akan berusaha menguasai sel tempatnya menumpang, dengan menguasai sistem di dalam sel dan menjadikannya home-base. Sebelum benar-benar menguasai sel tempatnya menumpang, virus perlu waktu, ini yang kita kenal sebagai masa inkubasi. Setelah menguasai itulah, si virus akan menimbulkan penyakit beragam bentuknya, dengan melepaskan berbagai “peluru dan meriam”.

Masalahnya, setelah berhasil menguasai suatu sel kemudian menjadikannya home-base serangan, maka menjadi bumerang buat si virus. Sel yang ditumpangi itu akan mati dan pertahanan si virus menjadi terbuka. Terpaksa si virus harus beralih mencari “home-base” baru.

Sementara itu, saat tubuh manusia kemasukan si virus tamu tak diundang, tentu saja tentara penjaga tubuh tidak tinggal diam. Segera mereka membentengi diri. Ketika virus harus mencari “home-base” baru, mereka akan terhadang pertahanan tubuh.

Jadilah si virus kehilangan sumber kehidupan, dan berakhirlah riwayatnya. Karena itulah sangat dikenal paradigma: penyakit akibat virus bersifat self-limiting disease – lama-lama si virus juga mati sendiri – dan tidak perlu antibiotika.

Lha kok kemarin katanya bisa saja diberikan obat ?

Seperti disebut diatas, tentu tentara tubuh tidak akan sekedar melongo di markasnya melihat si virus merajalela. Terjadilah perang baratayudha, antara Pandawa yang berbaju putih (sel-sel darah putih) melawan Kurawa berjas hitam (Men in Black eh si virus maksudnya). Saking hebohnya pertempuran, masing-masing saling melepaskan senjata pamungkas, tubuh si anak jadi demam.

Mengapa ? Karena si kurawa ini termasuk tentara yang meski sakti, penampilan seram bak preman pasar …mana aja deh, ketimbang disomasi …. tapi manjanya nggak ketulungan. Kalau tubuh manusia demam, dia jadi cepat lelah, nggak garang lagi. Sementara si putih, kalau terjadi demam, malah makin giat bertempur, makin giat mencetak tentara baru.

Karena itulah dipahami bahwa : kalau anak demam jangan buru-buru panik dan memberi obat. Mengapa ? Asal pertahanan memang kuat, terus suhu tubuh naik, maka virus makin cepat dikalahkan …

Mengapa kadang diperlukan obat ?

Setiap hari, sebenarnya banyak musuh mengancam tubuh manusia, ada si virus hitam, ada si hijau bakteri (termasuk kerabatnya si parasit semacam cacing atau plasmodium biang keladi malaria).

Tetapi sebaliknya, tubuh juga punya tentara. Kita cerita soal sistem imun tubuh dulu deh. Tentara tubuh terbagi atas 3 batalyon utama: penyerang/pemukul, intelijen dan markas.

Si penyerang/pemukul ini siaga di semua lini dari pintu gerbang (kulit, selaput lendir, permukaan usus) sampai siap diterjunkan melawan musuh di segala medan dalam tubuh manusia.

Si intelijen bergerak lincah mengawasi setiap sudut, mengenali mana kawan mana lawan, memberikan informasi kepada penyerang: mana yang harus diserang, mana yang harus di-blokade, mana yang harus hati-hati tidak boleh gegabah dihancurkan.

Si batalyon markas bekerja di litbang, merancang setiap strategi serangan maupun memproduksi senjata ampuh (antibodi) berdasarkan informasi dari batalyon intelijen. Informasi setiap musuh yang pernah menyerang, disusun dalam database (sistem sel memori), agar tentara lebih siap kalau suatu saat si musuh yang sama kembali menyerang.

Nah, meski banyak si hijau (bakteri) yang setiap saat mengancam tubuh Manusia, tetapi nasibnya lain dengan virus. Kalau virus, dia bisa masuk tubuh melalui berbagai teknik kamuflase dan “kunci palsu” sehingga – lagi-lagi karena sifat setengah hidupnya tadi – tidak mudah terdeteksi oleh tentara tubuh penjaga pintu gerbang, bahkan seringkali bisa menipu mentah-mentah, licin bagai belut, cerdik bagai kancil, tidak kalah dengan jagoan kita : I am Bond, James Bond …

Lain dengan si hijau, dasar orangnya “lugu”, seragamnya norak, gaptek lagi, tentara tubuh cepat mendeteksi. Jadilah pada saat tentara segar-bugar, siap senjata, si hijau hanya bisa sekedar melakukan provokasi, sementara tentara tubuh bahkan sudah siap kalaupun harus melakukan pre-emptive strike.

Saat tubuh bertempur baratayudha, tentulah dia akan banyak kehilangan Sumber daya, konsentrasinya akan terfokus, pertahanannya akan rentan. Saat-saat seperti itulah, si hijau (bakteri) punya peluang mencari celah masuk tubuh manusia, memanfaatkan kesempatan.

Lantas gimana? Harus diberi “antibiotika”?

Bisa dibayangkan, kalau saat harus bertempur, padahal sehari-hari si tentara ini sudah kurang makan, kurang gizi, bahkan kurang personel gara-gara nggak ada bakal tentara yang memenuhi syarat (tumbuh kembang tubuh kacau).

Karena itulah, pada kondisi tertentu, diperlukan “doping” power dari luar (“obat”) agar para tentara itu sanggup mempertahankan tubuh dari pertempuran melawan virus, sekaligus membentengi diri terhadap provokasi si bakteri.

Agar tidak salah dimengerti, “obat” ini bisa macam-macam, tidak selalu berarti antibiotika, tidak selalu berarti obat dari dokter. Makan sup hangat dan teh manis juga pasokan “doping” yang baik untuk membantu tubuh melawan virus.

Kapan kira-kira pasokan power dari luar ini diperlukan Faktor-faktor yang gampang dipahami : kalau pertempuran melawan virus sudah kelewat lama, analisa terhadap profil pertahanan tubuh sebelumnya mengindikasikan banyak kelemahan (sudah sering sakit-sakitan, tumbuh kembang terganggu, ada sifat alergi), atau bila tanpa disadari si bakteri sudah terlanjur menembus barikade pertahanan.

Siapa yang menilai kebutuhan pasokan dari luar ini ? Bisa dari tubuh itu sendiri yang mengibarkan bendera dan berteriak minta tolong (misalnya kejang akibat demam mendadak, panas tinggi terus menerus tanpa perbaikan, nyeri yang sangat) atau terlihat dari luar muncul tanda-tanda sudah ada penyusupan bakteri yang memperparah serangan si virus (misalnya terbentuk pus/discharge, pembengkakan, dan pemeriksaan lab tentunya). Dalam hal ini, Security Council (Doctor) lah yang akan menilainya.

Berlanjut …