Kontroversi Terapi Kanker Pak Warsito

Seorang teman meminta saya berkomentar tentang tayangan suatu acara yang menampilkan temuan terapi kanker oleh Pak Warsito Purwo Taruno. Kesan saya, ada jawaban dari Dokter sebagai narasumber di acara tersebut, yang tidak tegas bersikap tentang temuan dimaksud. Mohon maaf saya belum sempat menyaksikan keseluruhan acara tersebut. Namun berikut komentar saya berdasarkan yang saya tahu.

Kami di bidang kedokteran bukan tidak tahu atau tidak membaca temuan atau laporan seperti hasil karya Pak Dr. Warsito Purwo Taruno. Kami sangat menghargai niat baik beliau tersebut. Pernah pula seingat saya, beliau diminta ikut berbicara di forum ilmiah kedokteran. Pernah pula beliau kami undang ke PMI Solo untuk berdiskusi tentang kemungkinan membawa pasien-pasien kanker yang kurang mampu ke terapi temuan beliau (sebagai bagian dari sumbangsih PMI Solo).

Mengapa dicitrakan bahwa kalangan dokter tidak menerima temuan tersebut? Persoalannya pada satu filosofi bidang kedokteran: Medicine is a science of uncertainty and art of probability. Di sisi lain, ada ekspektasi yang lain terhadap dokter dibanding pihak lain, ketika sama-sama melontarkan suatu pendapat. Para dokter cenderung khawatir bila apa yang disampaikan langsung diterima sebagai simpulan akhir. Padahal semua masih berproses.

Kondisi ini yang membuat para dokter cenderung sangat berhati-hati. Bukan karena kami tidak menghargai. Kami sangat menghargai temuan spt Pak Warsito. Tetapi untuk menyebutnya sebagai “terapi kanker” dalam prinsip Evidence-based Medicine dan Value-based Medicine, tentu perlu proses. Sejauh ini kami masih pada pemahaman bahwa “semakin kuat suatu terapi terhadap kanker, juga semakin besar risiko efek sampingnya pada sel-sel yang normal”. Karena itu, kami biasanya berhitung pada risk-and-benefit yang optimal.

Sel-sel kanker memiliki aktivitas lebih tinggi – lebih sering dan lebih cepat membelah diri – daripada sel-sel normal. Dengan aktivitas itu, maka penyerapan energi dan loncatan energi yang ditimbulkan juga tinggi. Pada pemberian kemoterapi, sel-sel yang beraktivitas tinggi ini yang menjadi sasaran karena berarti lebih tinggi pula menyerap obat kemo terasebut. Karena sel-sel di kulit, rambut dan mucosa (selaput lendir saluran cerna misalnya) juga termasuk sel yang beraktivitas tinggi, maka efek samping yang paling sering kita lihat juga terjadi pada sel-sel tersebut. Prinsip yang sama berlaku pula pada pemberian Radioterapi. Pilihan terapi ini dengan dosis bervariasi, juga baik secara tunggal maupun kombinasi beberapa obat, disesuaikan dengan jenis, derajat keganasan maupun luasnya sebaran. Langkah ini untuk memenuhi prinsip terapi berbasis bukti (Evidence-based Medicine). Termasuk di dalamnya memperhitungkan soal usia, kondisi umum pasien dan harapan keberhasilan (prognosis) yang semata-mata agar tidak hanya memenuhi EBM tetapi juga Value-based Medicine (VBM).

Semakin berkembang, semakin diharapkan kita temukan obat anti kanker yang mampu mendeteksi sel-sel targetnya dengan lebih spesifik, melalui pengenalan suatu reseptor, ligand ataupun penanda khusus (cluster of differentiation) yang khusus diekspresikan di permukaan sel kanker, sehingga diharapkan meminimalkan efek terhadap sel-sel lain yang sebenarnya normal.

Kemampuan saya memahami prinsip kerja temuan Pak Warsito juga demikian: memaparkan energi listrik ke suatu bagian atau seluruh tubuh untuk ditargetkan pada sel-sel kanker yang memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan sel-sel normal. Hanya saya tidak berani berkomentar terlalu jauh, apakah misalnya ada efek samping, apakah tidak terbentuk sebaran sel kanker secara micro-satelit, apakah tidak terjadi disregularitas pada sel-sel yang normal, semata-mata karena belum mendapatkan data penelitian yang lebih komprehensif. Hal itu semata-mata bukan karena meragukan kapasitas beliau, tetapi lebih untuk memenuhi prinsip-prinsip terapi berbasis bukti. Tentu saya yakin beliau juga paham bahwa bukti dalam hal ini bukan sekedar laporan kasus, atau apalagi – maaf – testimoni. Saya yakin beliau juga mendukung prinsip tersebut.

Hal yang juga sering membuat kalangan dokter menahan diri adalah model pemberitaan yang tergiring untuk membenturkan temuan tersebut dengan pilihan terapi yang dipilih para dokter berdasarkan prinsip terapi-berbasis-bukti. Pemberitaan atau opini model ini, maaf, menyakitkan bagi kami. Kondisi itu justru membuat para dokter semakin menarik diri. Ujung-ujungnya diskusi tentang hal ini menjadi terhambat. Alih-alih terbangun diskusi yang menyehatkan, justru para dokter yang merasa disudutkan.

Akan sangat baik bila pemerintah memayungi dengan membiayai penelitian ilmiah skala besar justru untuk membuktikan bahwa temuan tersebut memang merupakan pilihan yang baik. Bila sudah kita dapatkan bukti itu, saya berpendapat, kalangan dokter juga akan mudah menerima, sebagaimana juga berlangsung pada upaya saintifikasi jamu sebagai obat herbal. Bila itu kita capai, semua akan senang. Rakyat senang, pemerintah senang, kalangan dokter juga senang.

Sementara itu, sebelum bukti itu kita dapatkan, kalangan dokter tidak akan menghalangi bila pasien sesuai dengan haknya akan menggunakan pilihan terapi lain. Yang – saya kira – diharapkan para dokter adalah: mari terbuka, sampaikan dengan jelas pilihan Anda wahai para pasien, janganlah menutupi bila memang ada pilihan lain. Jangan kalau berhasil dengan pilihan terapi lain, dokternya yang dituding kurang pengetahuan. Tetapi kalau kebetulan tidak berhasil dengan pilihan lain, dokternya juga yang tetap disalahkan. Adanya keterbukaan justru akan menambah data tentang bagaimana kolaborasi, bila memang memungkinkan, antara pilihan terapi medis dengan pilihan terapi yang lain.

Mari.

(Itu informasi ringkas yang saya tahu sebagai Anggota Tim Kanker di RS Moewardi Surakarta. Mohon kepada para sejawat Onkologi untuk mengoreksinya).

Untuk mengikuti diskusi di akun FB tentang hal ini, silakan klik di sini.