(3) Virus, sistem imun dan antibiotika
Pertanyaan “lantas kapan antibiotika selayaknya diberikan pada infeksi yang kebanyakan akibat virus” adalah hal yang sulit dijawab dengan tuntas.
Mengapa? Benar, 90 (atau bahkan 95%) penyakit saluran pernafasan pada anak-anak disebabkan virus. Benar, bahwa antibiotika bukan obat untuk virus, karena yang membunuh adalah sistem pertahanan tubuh.
Sebaliknya, benar pula bahwa infeksi virus bisa menimbulkan kerentanan. Benar bahwa karena rentan, bakteri bisa 3menumpang2 ikut menyerang. Dan jelas bakteri itu obat-nya antibiotika (tentu dengan sistem pertahanan tubuh juga).
Lantas, bagaimana kita tahu bahwa bakteri sudah menumpang? Jawaban standar: dibuktikan dengan tes laboratorium. Berapa hari pemeriksaannya ? Berapa bayarnya ? Selama menunggu itu bagaimana ? …
Urut-urutan dasar seorang dokter menegakkan diagnosa seharusnyalah tetap melewati prosedur baku: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, baru diagnosa. Setelah diagnosa ketemu, barulah ada terapi.
Bagaimana melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik, adalah hal-hal yang boleh dianggap “inti” dari ilmu menjadi seorang dokter. Soal penentuan/interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, bahkan soal analisis hasil pemeriksaan, kalau mau bisa dibaca ilmunya. (Ilmu kedokteran itu sebenarnya open-book, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang namanya “jurus guru jurus cantrik”).
Tetapi ketika sampai pada “melakukan dan menganalisis anamnesis, melakukan dan menganalisa pemeriksaan fisik”, disinilah faktor “the man behind the gun” akan berbicara. Dan hal inilah yang paling sulit dicapai melalui fasilitas “maya” semacam rubrik konsultasi cetak/online dan milist.
Sebagian besar kalau tidak ingin dikatakan hampir semua dokter tahu dan sadar soal “kesalahan” melakukan poli-farmasi, soal risiko resistensi antibiotika, soal virus dan banyak hal lain. Masalahnya, ketika berhadapan dengan pasien, yang ada adalah “harus membuat keputusan”.
Agar fokus, ketika berhadapan dengan pasien bayi/anak-anak dokter juga sadar bahwa “anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini”, penyakitnya bisa lain, perjalanan penyakit bisa lain, respon terapinya lain, efek dan side-effect obatnya juga lain let alone soal-soal yang lebih “sederhana” semacam menghitung dosis obatnya.
Mengapa diberikan antibiotika? Mengapa tidak diperiksa laboratorium dulu? Prinsip kedokteran jelas menyebutkan: menggunakan kemampuan tertinggi untuk sebesar-besar keuntungan pasien. Saya kira, kalau memang semua data bisa didapatkan dalam waktu sesingkat mungkin, semua dokter juga senang, karena lebih mudah baginya memutuskan.
Kok dokter langsung memberikan antibiotika tanpa pemeriksaan laboratorium? Secara obyektif, akan ada 2 kelompok alasan:
Faktor medis: memang kondisi infeksinya sudah berat, untuk itu diberikan antibiotika narrow spectrum, sambil dilakukan pemeriksaan lab, untuk kemudian dilihat perkembangannya; atau dokter sudah tahu riwayat medis si pasien sebelumnya.
Faktor non medis: memang pasien tidak mampu melakukan tes laboratorium lebih dahulu, kondisi lingkungan pasien tidak mendukung bila harus menunggu pemeriksaan lab lebih dahulu (higiene dan sanitasi kurang), dan sejenisnya.
Bagaimana tahu kondisi infeksinya sudah berat? Kembali, ananmesis dan pemeriksaan fisik secara langsung hampir tak bisa tergantikan oleh pemeriksaan “jarah jauh” (sampai batas tertentu bisa dicapai dalam konsep referral and second opinion yang selayaknya).
Tanpa laboratorium, bagaimana dokter berani menentukan antibiotikanya? Ada dua hal :
Secara obyektif. Darimana kita tahu bahwa “setelah DPT anak demam ringan, membaik meski tanpa obat sekalipun”, atau bahwa “kejang demam pertama kurang dari 5 menit, hanya 30% yang akan terulang dalam 6 jam kemudian”, atau juga tahu bahwa “95% common problems pada anak-anak terjadi karena virus”? Itu semua adalah data statistik, diperoleh dari pencatatan secara berkesinambungan.
Secara statistik pula dokter mendapat informasi bahwa “penyakit X biasa disebabkan bakteri Y, yang memiliki respon terapi sekian persen baik dengan antibiotika A, tetapi resisten terhadap antibotika B”.
Secara subyektif. Keunggulan dokter ditentukan juga oleh pengalamannya, yang akan membentuk “intuisi”. Dan bicara “intuisi”, tentu kita paham, ini bukan soal untuk diperdebatkan “intuisinya”, yang bisa dinilai hanya “hasil”nya.
Bagaimana di lapangan? Saya tidak berani memastikan, tetapi menghadapi kenyataan seperti itu di lapangan, saya kira akan ada 3 kelompok dokter:
1. Di sisi ekstrem kiri dari kurva normal akan ada sekelompok dokter yang “emang gue pikirin” pokoknya memberi obat for whatever the reason is.
2. Di sisi ekstrem kanan dari kurva normal, akan ada sekelompok dokter yang berusaha teguh memegang “teori” sambil berusaha sekuatnya mengikuti perkembangan. Yang begini ini, mohon maaf, tentu memerlukan jiwa besar dan ketegaran menghadapi “mekanisme pasar”.
3. Sebagian besar dokter akan berusaha mengambil jalan tengah, melihat situasi-kondisi pasien. Tetap mengikuti teori dan perkembangannya, berusaha melakukan edukasi, tetapi juga mau melakukan kompromi (sampai batas-batas tertentu).
Ah, itu kan dokter-nya yang nyari untung? Soal untung, itu relatif, tetapi tidak perlu dipungkiri bahwa dokter juga memikirkan self-interest. Mulai soal yang relatif “kecil” semacam tidak dapat pasar karena pasien merasa tidak puas.
Sampai ke yang jauh lebih serius, seperti analogi berikut. Dokter meyakinkan bahwa “Bu ini tidak perlu antibiotika karena 95% disebabkan virus”. Tetapi 2-3 hari kemudian anak tiba-tiba masuk ke kondisi shock-septic. Apakah benar bahwa dkternya tidak akan disalahkan dan bisa membela diri karena “lha saya kan ada dasar ilmunya bilang begitu”?
Iya sih, tetapi berarti itu dokternya “nggak pede” dong? Pada akhirnya ilmu kedokteran itu bukan sekedar “ilmu” tetapi juga “art”. Dokter diharuskan mampu meniti tali antara simpul “teori by book” di satu ujung dengan “cost-benefit-ratio” di sisi lain. Apakah berarti dokter tidak “pede”? Bisa terjadi demikian kalau dia tidak sanggup “meniti tali ilmu dan seni” tadi, tetapi tidak akan terjadi kalau memang memiliki kemampuan profesional untuk membuat judgement.
Lho, kalau ternyata kekhawatiran dokter itu “salah” kan bisa berabe? Menghadapi ini, ada yang mengatakan : risiko obat itu jelas bisa diprediksikan, tetapi risiko penyakit sulit diperkirakan. Ibaratnya, daripada menanggung risiko kena “penyakit” masih lebih enak menanggung risiko “obat”.
Apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak. Betapa beban dokter ringan bila memang paradigma itu yang dipakai. Justru kembali ke awal tadi : how doctor he/she is ….
Terakhir, saya jujur masih termasuk kelompok dokter di “tengah-tengah kurva” tadi, esuai dengan kondisi lapangan yang waktu itu saya hadapi. Tentu, saya tetap berpegang pada teori, tetap mengikuti perkembangan. Usaha edukasi tetap saya jalankan, tetapi sampai batas tertentu, saya juga tetap melakukan kompromi. Semata-mata demi keyakinan bahwa itu semua untuk sebesar-besar keuntungan pasien.
Semoga bermanfaat.