Antibotika untuk sore-throat?
Sore throat atau faringitis, sering kita alami. Statistik menunjukkan 90% faringitis pada anak-anak, penyebabnya virus. “Virus kan tidak ada obatnya” sering terlontar (semoga menjadi lebih jelas di tulisan lain tentang pernyataan tersebut).
Karena masih ada kemungkinan 10% oleh bakteri, pertanyaan berikutnya : kapan harus menggunakan antibiotika? Jawaban paling tepat : lakukan tes kultur, bila positif, lakukan tes sensitivitas, beri antibiotika sesuai hasilnya. “Kalau tidak diberi antibiotika, bagaimana?” Risiko dari faringitis akibat bakteri pada anak-anak yang tidak terobati tuntas ada dua tipe. Pertama, tipe supuratif yang membentuk pus (nanah) bisa menjalar ke peritonsillar abscess, cervical lymphadenitis, and mastoiditis. Kedua tipe non-supuratif yaitu penyakit demam rheumatik terutama di jantung dan persendian.
Wah, bahaya dong! terus gimana? Harus periksa lab terus?
Masalahnya, tidak semua pasien memiliki sumber daya ke laboratorium. Juga, betapa pengeluaran kesehatan akan berlipat kalau seperti itu.
Untuk itu, mari kita buka sedikit dapur kerja dokter. Tentu, dokter pun tidak lantas tergesa-gesa semua kasus faringitis harus dilakukan tes laboratorium. Sebaliknya, dokter juga tidak seharusnya terburu-buru memberi antibiotika tanpa dasar, karena risiko resistensi.
Lantas bagaimana?
Bakteri yang paling sering menimbulkan faringitis dan berisiko ke demam rheumatik adalah Group A Beta Hemolyticus Streptoccocus (GABHS). Karena itu, sore-throat yang disebabkan oleh GABHS disebut “strep-throat”. Secara klinis tanda-tanda yang sering menyertai strep-throat adalah:
1. Rasa nyeri di sekitar tenggorokan, disertai oleh nyeri saat menelan.
2. Tonsil (amandel) membesar dan memerah, kadang disertai detritus/bercak.
3. Kelenjar limfe di leher membengkak
4. Demam
5. Sakit kepala
6. Biasanya tidak disertai batuk.
7. Onset cepat, tidak didahului oleh batuk/pilek.
8. Kadang disertai juga sakit di perut, bisa sampai muntah
Selanjutnya, ada panduan yang disebut : Strep Score untuk menilai kemungkinan infeksi GABHS. Ada 4 kriteria dasar :
1. Eksudat di tonsil (kelenjar di faring dekat kelenjar adenoid, yang kalau membesar terjadi amandel)
2. Ada pembengkakan kelenjar limfe cervical (gampangnya, di kanan-kiri leher, dari bawah telinga, bergerak di tepi dalam tulang rahang bawah).
3. Tidak ada batuk
4. Dengan demam
Untuk setiap kriteria yang tepat, bernilai +1. Interpretasi nilai dan probabilitas infeksi bakteri Streptococcus bila diperiksa di kamar dokter (risiko lebih tinggi kalau diperiksa di RS) :
1. Score 0 : 1% (3%)
2. Score 1 : 4% (8%)
3. Score 2 : 9% (18%)
4. Score 3 : 21% (38%)
5. Score 4 : 43% (63%)
Pilihan terapinya :
1. Score 4 (atau 2 bila pasien kurang kooperatif/meragukan) : langsung antibiotika.
2. Score 2-3 : tes dengan rapid (bila tersedia) atau kultur/throat swab.
3. Score 0-1 : cukup terapi simptomatis/home treatment.
Dokter tentu memiliki acuan dari laporan penelitian dan pengalaman klinis untuk menentukan terapi antibiotiak empirik meski tidak dengan pemeriksaan laboratorium seperti pada hasil Strep Score 4.
Ada beberapa modifikasi terhadap Score ini, misalnya menyertakan kriteria usia :
1. Kurang dari 15 : +1 poin
2. Antara 15 – 45 : 0 poin
3. Lebih dari 45 : -1
Ada juga acuan lain Centor Score :
1. Suhu badan > 38 derajat celcius
2. tidak ada batuk
3. Pembengkakan kelenjar limfe
4. Pembengkakan tonsil atau eksudat
5. Patokan umur : 3-14 tahun 1 poin; 15-44 tahun 0 point dan lebih dari 45 tahun -1
Kalau nilainya 4 atau lebih, langsung terapi antibiotika. Nilai 2-3 dilakukan tes laboratorium.
Ada juga faktor adanya riwayat kontak dengan penderita faringitis (mungkin di rumah). Juga memperhitungkan faktor prevalensi infeksi streptoccocus di wilayah setempat dan periode tertentu.
Mengapa kadang kok dokter tidak persis seperti Strep Score tersebut? Tentu saja, Strep Score ini adalah panduan umum. Dokter tetap melakukan analisa lebih lengkap berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik lainnya. Misalnya riwayat sebelumnya memang sering faringitis, tentu dokter akan lebih hati-hati. Ada sifat alergi, adanya penyakit lain, tentu membuat dokter lebih hati-hati pula.
Di samping risiko demam rheumatic, ada pula risiko post-streptococcal glomerulonephritis (infeksi ginjal paska infeksi streptococcus di saluran nafas bagian atas). Untuk itu dokter mungkin menanyakan pula riwayat faringitis sebelumnya, dan tanda-tanda ke arah gangguan di ginjal. Hal ini juga menjadi pertimbangan.
Yang penting ditekankan, sebelum ke dokter untuk faringitis, persiapkan data-data yang mendukung. Misalnya peta demam atau alur perjalanan demam : mulai kapan, naik turun atau terus tinggi, adakah muntah, adakah batuk dan sebagainya (untuk anamnesis).
Dengan mengetahui strep score ini, orang tua akan bisa berdiskusi lebih jauh dengan dokternya, agar keputusan terapi yang dicapai bisa diterima dengan sepenuhnya. Jangan sampai kita pulang dari dokter masih dengan keraguan.