Belajar dari kasus Prita-OMNI: Menghadapi Pasien “Pinter”

(Solopos, 18 Juni 2009)

Kasus Prita-OMNI terus bergulir di pengadilan. Berawal dari menulis keluhan melalui email pribadi, kemudian beredar di milis, menghadapi tuntutan hukum, menjalani hukuman, sampai akhirnya menjadi berita nasional. Penulis tidak akan membahas dari sisi hukum, karena tidak berkompeten. Yang menarik adalah interaksi dokter dan pasien “pinter”di jaman internet yang dalam pandangan penulis menjadi pangkal kasus tersebut.

Sesuai perjalanan sejarah, dinamika interaksi kepercayaan dokter pasien mengenal 4 model perkembangan (Collste, 2002). Awalnya dikenal engineering-model, yang menempatkan pasien sebagai obyek seperti seorang mekanik memperbaiki mobil rusak. Jelas, hubungan kemanusiaan kurang bisa diharapkan pada model ini.

Kedua, model healing-relationship menekankan hubungan saling pengertian antara dokter dan pasien. Filosofinya, penyakit tidak hanya menganggu kesehatan tubuh tetapi juga keseimbangan batin penderitanya. Model ini menempatkan dokter sebagai healer (penyembuh jiwa dan raga).

Ketiga adalah model trust atau fidelity. Model ini menyandarkan pada 2 pilar: kompetensi dan simpati. Pasien menaruh kepercayaan kepada dokter karena yakin atas kompetensinya dan atas perhatiannya kepada pasien. Pilar simpati menekankan aspek moral dari pelayanan klinis. Model hubungannya seperti dua orang teman, meskipun sifat hubungannya tetap asimetris.

Ke-empat adalah adalah contract model, dengan mendasarkan pada seperangkat hak dan kewajiban pada sisi dokter maupun pasien. Model inilah yang semakin lama makin berkembang, dalam pelayanan kesehatan sehari-hari. Kurang saling pengertian akan model interaksi kontrak dokter-pasien ini yang tidak jarang memicu banyak “tudingan” malpraktik.

Sesuai Sumpah Hipokrates, kontrak dalam hubungan dokter-pasien bertumpu pada kewajiban dokter “memberikan usaha terbaik” bagi harapan kesembuhan pasien, tetapi bukan menjanjikan kesembuhan itu sendiri. Ukuran “usaha terbaik” adalah sesuai pengetahuan terkini yang dirumuskan dalam standar pelayanan oleh organisasi profesi. Bila terjadi dugaan “penyimpangan” maka organisasi profesi tersebut yang akan menilainya.

Dalam hal menilai “usaha terbaik” inilah mudah timbul salah komunikasi antara dokter (termasuk organisasi profesinya) dan pasien. Salah komunikasi itu makin kompleks dengan berkembangnya jaringan internet. Informasi kesehatan makin mudah diperoleh oleh pasien. Akibatnya, pasien makin “pinter”, makin banyak tahu. Selanjutnya, pasien akan “menilai” usaha terbaik dokter itu berdasarkan yang dia ketahui dari internet.

Di sisi lain, kebuntuan komunikasi pada interaksi dokter-pasien di ranah klinis (ruang praktek, rumah sakit), mendorong pasien mendobrak melalui interaksi dunia maya. Alih-alih menyampaikan pertanyaan, keluhan dan ketidak puasan atas pelayanan dokter/RS secara langsung, makin banyak yang melakukannya melalui internet. Bisa melalui milis, situs interaktif maupun kontak email. Kepada siapa keluhan disampaikan dan dari siapa informasi didapatkan, seringkali dihamparkan begitu saja ke dunia maya.

Masalahnya, tidak sedikit dokter (dan manajemen rumah sakit) yang masih gagap teknologi, termasuk berinteraksi melalui internet. Akibatnya dokter dihinggapi rasa khawatir menghadapi “pasien internet” makin “pinter”. Dengan demikian, ada yang tidak “nyambung” dalam pola komunikasi ini. Dalam perkembangannya memang ada 3 model yang bisa dipilih dokter menghadapinya.

Pertama, dokter berpegang pada standar profesi yang disebut medical model. Alasan dasarnya jelas: diagnosis, terapi dan saran medis, tidak bisa diberikan melalui internet. Komunikasi verbal dan non-verbal secara langsung adalah “sangat fundamental” dalam proses terapi. Dokter juga terikat pada salah satu etik untuk “First do no harm” (tidak menimbulkan hal yang merugikan bagi pasien). Memberikan diagnosis dan terapi secara online, membuat dokter khawatir sangat berisiko melanggar kode etik tersebut.

Pilihan kedua menekankan pada patient-oriented model dengan target “memuaskan” semua keinginan pasien dalam hal kenyamanan berkomunikasi. Baik bertemu langsung maupun secara online, apapun dipenuhi. Masalahnya, betapa besar energi dan sumber daya yang harus disediakan dokter untuk memenuhi kepuasan ini? Bagaimana kemudian dokter harus menyeimbangkan kebutuhan energi dan sumber daya itu dengan penghargaan jasa yang harus dibebankan? Bagaimana agar informasi yang diberikan dokter bisa dinikmati oleh semua pasiennya? Apakah secara etis boleh membedakan besaran jasa kelompok pasien tertentu dengan kelompok pasien lain yang sudah “puas” dengan komunikasi langsung?

Pilihan ketiga adalah berusaha menjaga keseimbangan sebaran akses bagi para pasien, tanpa menyedot terlalu besar sumber daya di sisi dokter. Untuk memenuhi kebutuhan informasi kelompok “melek internet”, dokter bisa menyediakannya secara online di suatu situs pribadinya. Sedangkan bagi kelompok lain, dokter bisa menyediakan informasi singkat di ruang prakteknya. Dokter juga bisa menjawab pertanyaan, keluhan atau ketidak puasan melalui situs. Dengan cara itu, jawabannya bisa dibaca juga oleh pasien-pasien lain, tanpa dokter itu harus berulang-ulang menjawab pertanyaan yang sama.

Sebagai contoh sederhana, seorang ahli bidang endokrinologi bisa menuliskan informasi soal diabetes di situs pribadinya. Bila ada pasien yang “melek internet” bertanya, tinggal kita arahkan membuka situs dimaksud. Bila ada pertanyaan, keluhan atau ketidak puasan layanan, bisa ditanggapi juga. Kalau pasien “pinter” belum puas, dan karena keterbatasan ruang situs, dokter tersebut bisa menunjukkan situs-situs yang kredibel untuk memperdalam informasi kesehatan yang diinginkan pasien.

Dalam hal ini terasa bahwa dokter berperan sebagai narasumber sekaligus “moderator”, sehingga pendekatan ini disebut educational model. Internet harus dipahami laksana “hutan rimba”. Pasien “pinter” punya banyak waktu menjelajahinya, sedangkan dokter terbatas waktunya. Namun, tanpa panduan dan arahan dokter, maka pasien pinter mudah terjebak di hutan rimba. Alih-alih mendapatkan informasi yang tepat, bukan tidak mungkin pasien justru tersesat. Untuk itu perlu kerjasama.

Bagaimana dokter mengelola situs pribadi, bagaimana mengalokasikan sumber daya, bagaimana memilih situs kesehatan yang kredibel, bagaimana mengelola batasan materi-materi diskusi kesehatan secara online, adalah diskusi tersendiri (perlu ruang tulisan lain untuk itu).

Pada acara UNS BlogFest beberapa waktu lalu, penulis menyampaikan bahwa kita harus tetap berhati-hati menulis di internet. Apa yang kita tulis, dalam hitungan detik bisa saja telah melesat seolah tanpa kendali ke segala arah. Dan kita tidak akan pernah bisa lagi melacak sebaran itu untuk tujuan “mengklarifikasi balik”. Apalagi kalau yang kita tulis itu “sensitif”, seperti soal-soal seputar ketidak puasan atas layanan publik (termasuk dokter/RS).

Perasaan “bebas” saat menulis di internet, tanpa sadar bisa menyeret kita untuk merasa seolah-olah “memonopoli” informasi bahkan “kebenaran” itu sendiri. Karena itu, harus dipahami secara manusiawi bila bila dokter merasakan kekhawatiran berinteraksi di internet, karena merasa dengan mudah menempatkan dirinya pada posisi “diserang”. Bahkan kadang “diserang ramai-ramai secara emosional” tanpa berkesempatan mendudukkan masalah sebenarnya.

Lantas bagaimana? Satu prinsip dasar, dalam pandangan penulis, soal diagnosis dan terapi, tetap tidak bisa dilakukan secara online (mengenai konsep tele-medicine perlu pembahasan tersendiri). Yang bisa dikomunikasikan secara online adalah informasi dan saran-saran kesehatan secara umum. Selanjutnya, kita bawa informasi tersebut sebagai bahan ketika berkonsultasi ke dokter secara tatap muka. Dengan cara ini, diharapkan berkembang diskusi yang dinamis dengan dokter di ruang praktek.

Diskusi yang dimaksud itu berjalan lebih efektif, karena pasien tidak datang dalam keadaan nol informasi. Selanjutnya, pasien akan bisa menjadi mitra bagi dokter ketika membuat keputusan medis untuk dirinya sendiri. Penulis yakin, kondisi seperti ini akan lebih memuaskan bagi kedua pihak, sekaligus meminimal risiko kesalah pahaman di waktu-waktu selanjutnya.

Bagaimana dengan keluhan atau ketidak puasan? Dalam interaksi internet, harus kita biasakan untuk membahas “masalah”-nya bukan “orang”-nya. Kita bahas yang dianggap kurang sesuai standar pelayanan medis, bukan tentang si dokter X atau RS Y itu sendiri. Membahas orang per orang, akan memunculkan simpati dan sentimen, sehingga mudah menyeret ke arah emosional bukan rasional. Hal ini terjadi pada kedua pihak: yang memberikan keluhan maupun pihak yang menjadi sasaran keluhan. Ujung-ujungnya, bukan solusi yang didapat, tetapi pertentangan yang semakin meruncing.

Penyampaian keluhan dengan penyebutan secara spesifik (orang atau institusi), harus disampaikan secara formal ke  pihak yang bersangkutan. Sementara hasil diskusi atau komunikasi online, akan menjadi bahan-bahan agar proses keluhan tersebut bisa didudukkan masalahnya secara rasional.

Penulis berpandangan, dengan pola komunikasi seperti ini, kasus Prita-OMNI akan lebih bisa lihat secara rasional. Justru dengan demikian, kasus itu akan bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak. Dengan demikian, apapun bentuknya nanti, solusi akhirnya akan berperan memperbaiki layanan kesehatan, tanpa harus membuat ada pihak-pihak yang merasa disudutkan berlebihan. Semoga.

(Tulisan ini merupakan rangkuman dari Naskah yang dipresentasikan pada Indonesian Scientific Meeting di Hiroshima, Japan, tahun 2006. Naskah lengkap bisa diperoleh di halaman download).