Circumsisi, phimosis dan khitan perempuan
(ditulis oleh dokter umum, ditujukan untuk masyarakat umum, disusun dari pengalaman dan bacaan, sambil menunggu koreksi dari sejawat dokter bedah).
Sering muncul pertanyaan tentang khitan/sunat/sirkumsisi (circumsisi) di milis kesehatan. Banyak kebingungan ketika ada keinginan/keharusan menjalani sirkumsisi pada usia dini.
Sirkumsisi memiliki riwayat panjang, bahkan sebelum masehi sudah ditemukan catatan prakteknya di Mesir. Praktek ini berlangsung terus sampai sekarang, namun menjadi topik kontroversi hangat sejak sekitar 20-an tahun lalu. Apakah benar sirkumsisi bermanfaat atau justru tidak ada gunanya?
Sirkumsisi adalah tindakan medis berupa pembuangan sebagian atau seluruh bagian dari preputium (prepuce, foreskin, kulup, kulit yang melingkupi glans penis/kepala penis). Ada 3 alasan utama orang menjalani sirkumsisi :
1. Karena indikasi medis
2. Tindakan pencegahan untuk masa depan
3. Alasan agama/keyakinan
Indikasi medis yang paling sering ditemui adalah kondisi phimosis. Preputium sebenarnya terdiri dari dua lapis: bagian dalam dan bagian luar. Dengan dua lapis ini, maka preputium bisa ditarik ke depan dan belakang pada batang penis.
Pada penis anak yang mengalami phimosis, preputium tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh bagian kepala penis. Lapis bagian dalam preputium melekat pada glans penis, sehingga ketika preputium ditarik, glans penis tidak bisa terbuka seluruhnya. Kadang perlekatan itu begitu lebar sehingga hanya bagian lubang kencing (meatus urethra externus) yang terbuka. Selama tidak terjadi hambatan berkemih atau tanda-tanda peradangan, masih bisa diobservasi. Harapannya, secara perlahan perlekatan akan menghilang sesuai usia.
Perlu diketahui, saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi desquamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai usia 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh. Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada usia 10 tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga 16-17 tahun. Dari kelompok terakhir ini, ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila tidak ditangani.
Phimosis bisa terjadi secara bawaan sejak lahir, bisa juga terjadi kemudian. Penyebab yang sering adalah infeksi pada daerah glans penis dan preputium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut. Selanjutnya preputium melekat ke glans penis pada jaringan parut tersebut.
Kondisi yang berlawanan adalah paraphimosis. Pada kondisi ini, preputium dapat ditarik ke belakang, glans penis terbuka seluruhnya, tetapi justru preputium tidak bisa kembali ke depan dan menjepit penis. Kondisi ini berbahaya karena risiko pembendungan aliran darah dan menyebabkan edema penis. Jepitan sebaiknya segera dibebaskan agar tidak terjadi kerusakan yang bersifat permanen.
Pada lapisan dalam preputium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi smegma. Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan preputium. Letak kelenjar ini di dekat pertemuan preputium dan glans penis yang membentuk semacam “lembah” di bawah korona glans penis (bagian kepala penis yang berdiameter paling lebar). Ke dalam lembah ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel mati dan bakteri. Bila tidak terjadi phimosis, kotoran ini mudah dibersihkan.
Pada kondisi phimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan karena preputium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah perlekatan preputium dengan gland penis, debris dan sel mati terkumpul di lembah dan tidak bisa dibersihkan.
Bisa juga terjadi lubang di ujung preputium sempit sehingga tidak bisa ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang hanya tersisa lubang kecil di ujung preputium. Pada kondisi ini, akan terjadi fenomena “balloning” yaitu preputium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran urine tidak diimbangi besarnya lubang di ujung preputium.
Kadang terjadi peradangan pada preputium sampai tidak bisa berkemih. Dokter bisa melakukan tindakan dilatasi (melebarkan lubang preputium) agar proses berkemih lancar. Setelah peradangan mereda, rasa nyeri berkemih membaik, lebih baik dilakukan sirkumsisi agar peradangan dan kesulitan berkemih tidak terulang lagi.
Bila phimosis menghambat kelancaran berkemih – seperti pada balloning – maka sisa-sisa urin mudah terjebak pada bagian dalam preputium dan lembah tersebut. Kandungan glukosa pada urine menjadi ladang subur bagi pertumbuhan bakteri. Karena itu, komplikasi yang paling sering dialami akibat phimosis adalah infeksi saluran kemih (UTI).
UTI paling sering menjadi indikasi sirkumsisi pada kasus phimosis. Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini terjadi peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi pembengkakan kemerahan dan produksi pus pada “lembah” antara glans penis dan preputium. Meski jarang, infeksi ini bisa terjadi pada diabetes.
Kadang tepi preputium menjadi putih, terbentuk jaringan parut, tidak elastis dan tidak mau membuka saat ditarik ke belakang. Sekitar 1-1.5% anak laki-laki sampai pada usia 17 tahun bisa menderitanya. Gejala yang timbul: iritasi atau perdarahan di tepi preputium, rasa nyeri saat berkemih (disuria) dan tidak bisa berkemih (retensi urine). Kondisi ini disebut balanitis xerotica olbiterans. Sirkumsisi dianjurkan pada kondisi ini.
Berkaitan dengan pencegahan masa depan, ada beberapa penyakit yang diduga berkurang risikonya dengan menjalani sirkumsisi. Yang sering disebut adalah kanker penis, penyakit menular seksual dan kanker serviks (pada pasangan seksualnya). Tentu saja, banyak faktor terkait dalam hal terjadinya keganasan atau PMS, sehingga terjadi kontroversi pendapat (di luar lingkup tulisan ini).
Benarkah sirkumsisi mempengaruhi kejadian UTI? Tahun 1980-an dilaporkan bahwa anak yang tidak disirkumsisi memiliki risiko menderita UTI 10-20 kali lebih tinggi. Tahun 1993, ditulis review bahwa risiko terjadi sebesar 12 kali lipat. Tahun 1999, dalam salah satu bagian dari pernyataan AAP tentang sirkumsisi, disebutkan bahwa dari 1000 anak pada usia 1 tahun, 7-14 anak yang tidak disirkumsisi menderita UTI sedang hanya 1-2 anak pada kelompok yang disirkumsisi. Dua laporan jurnal tahun 2001 dan 2005 mendukung bahwa sirkumsisi menurunkan risiko UTI.
Apa yang harus dipersiapkan sebelum menjalani sirkumsisi? Sebelum menentukan tindakan operasi, perlu pemeriksaan awal. Di luar soal kesiapan secara fisik, dipastikan pula adakah kelainan anatomis penis, bagaimana kondisi preputium (adakah phimosis, seberapa perlekatan preputium dengan glans penis, adakah peradangan). Pada tahap ini, dokter akan bisa membuat penilaian, apakah akan dihadapi penyulit. Bisa terjadi, bila penyulit cukup berat, terpaksa menggunakan anesthesi umum agar bisa optimal.
Bapak-bapak model “dulu” biasa menunggu sampai preputium anaknya benar-benar sudah bisa ditarik ke belakang dan glans penis terlihat utuh, sebelum memutuskan hendak sirkumsisi. Mereka sering mengajarkan kepada anaknya untuk selalu mencoba menarik preputium saat mandi, sekaligus membersihkan kotoran yang mengendap di balik preputium. Seperti disebut sebelumnya, memang secara alamiah pun, perlekatan itu akan menghilang sesuai pertambahan usia. Baru setelah ditunggu-tunggu ternyata memang tidak tercapai, mereka konsultasi ke dokter.
Kadang, adanya perlekatan – terutama bila tinggal sedikit – bisa dilepaskan sekaligus sebelum dilakukan sirkumsisi. Bila perlekatan ternyata cukup lebar, atau relatif sulit dilepaskan, kadang dokter terpaksa melakukannya dua tahap: dilepaskan dulu perlekatannya, diberi jeda agar “peradangan ringan”nya membaik, baru tahap kedua dilakukan sirkumsisi. Memang ini menambah trauma pada anak karena terpaksa 2 kali menjalani “tindakan” oleh dokter. Karena itu sebisa mungkin pelepasan perlekatan dan sirkumsisi dilakukan satu tahap.
Apakah sirkumsisi harus dengan general anesthesi (anesthesi umum)? Pada prinsipnya, sirkumsisi adalah tindakan minor surgery dengan anesthesi lokal, termasuk pada neonatal (Cochrane Database 2004). Ada dua model anesthesi lokal yang sering digunakan. Pertama dengan suntikan baik pada pangkal penis (DPNB) maupun preputium (ring-block). Kedua, menggunakan anesthesia topikal, biasanya berupa spray. Dalam literatur, metode suntikan lebih efektif, tetapi dalam praktek tergantung pada teknik sirkumsisi yang dipakai dan keterampilan dokternya. Rata-rata waktu yang diperlukan hanya sekitar 10-15 menit, selama tidak ada penyulit.
Meski bersifat minor surgery, di lapangan sering ditemui kendala karena pasien tidak kooperatif. Bisa juga orang tua pasien yang merasa tidak tega. Padahal diperlukan kerjasama antara orang tua atau keluarga dengan dokter agar sirkumsisi berlangsung optimal. Ada kalanya terpaksa dilakukan dengan anesthesi umum agar kerja dokter lebih optimal.
Bila harus menggunakan anesthesi umum, tentu perlu persiapan seperti operasi lain yang menggunakan anesthesi umum. Misalnya harus puasa 4-6 jam sebelumnya untuk menghindari aspirasi isi lambung saat dalam kondisi teranesthesi. (Aspirasi: masuknya isi dari lambung ke saluran nafas).
Namun teknik anesthesinya tidak seperti kita lihat di film seperti serial ER misalnya. Tekniknya lebih sederhana, dan efeknya singkat sesuai kebutuhan. Juga tidak sampai dilakukan pemasangan intubasi (selang khusus ke tenggorokan). Prinsipnya anak bisa tidur tenang, rasa sakit dihilangkan, proses sirkumsisi berjalan lancar, dan segera setelah selesai, anak sadar. Biasanya segera setelah sadar, anak merasa haus. Pastikan ke dokter bahwa peristaltis saluran cerna sudah pulih sehingga anak sudah bisa minum.
Berbagai laporan menyebut angka komplikasi akibat tindakan sirkumsisi sebesar 0,2 – 0,6%. Hampir semua komplikasi bersifat ringan. Yang paling sering terjadi adalah perdarahan, kemungkinannya sekitar 0,1%, dan hampir semuanya bisa diatasi dengan tindakan lokal.
Yang perlu perhatian, sampaikan sebelumnya bila ada tanda-tanda anak mengalami gangguan pembekuan darah. Misalnya perdarahan bila terluka tidak cepat berhenti, sering mimisan (epistaksis), bila sikat gigi mudah berdarah, bila bagian badan terbentur mudah terjadi lebam yang tidak cepat hilang atau sering timbul bintik-bintik perdarahan di bawah kulit. Dokter akan memberi perhatian tersendiri bila ada riwayat demikian.
Karena bersifat minor, dengan prosedur yang steril luka paska operasi biasanya sembuh dengan cepat dan baik. Bila tanpa indikasi khusus, tidak diperlukan antibiotika, hanya analgetik sesuai kebutuhan bila timbul nyeri saja. Luka lebih baik segera dibiarkan terbuka, asal terjaga kebersihan dan gesekan dengan celana/kain popok (gunakan yang longgar). Rembesan urine yang biasanya menimbulkan nyeri dan risiko kontaminasi. Karena itu segera bersihkan dengan air hangat atau cairan antiseptik setiap kali selesai berkemih.
Memang kondisi lokal bisa berbeda, seperti laporan tahun 1999 di Punjab India, antibiotika topikal (salep) efektif mencegah terjadinya infeksi pada luka paska sirkumsisi terutama terhadap risiko tetanus. Namun hal seperti ini perlu penilaian kasus per kasus, tidak diberlakukan secara umum.
Beberapa hal yang diperhatikan paska sirkumsisi:
1. Perdarahan seharusnya segera berhenti. Bila perdarahan masih terus berlangsung, pastikan ke dokter bahwa hanya proses alamiah dari pembekuan (pembentukan trombin-net) darah. Kadang keluar cairan tapi relatif bening, bukan lagi merah.
2. Bila terjadi pembengkakan berlebihan. Kadang terbentuk cairan jaringan di bekas luka, namun secara alamiah ini akan diserap tubuh. Bila terjadi bendungan cairan besar, konsultasikan ke dokter.
3. Bila anak mengeluh nyeri sangat yang tidak bisa diatasi dengan pemberian analgetik, konsultasikan ke dokter. Mungkin terjadi masih ada pembuluh darah yang belum terligasi dengan sempurna, sehingga terjadi perdarahan di dalam dan menimbulkan nyeri.
Tentu saja risiko perdarahan maupun pembengkakan terkait erat dengan teknik sirkumsisi yang benar. Dengan teknik sirkumsisi dan perawatan luka yang benar, risiko tersebut minimal. Biasanya dokter memberi anjuran kontrol 24-48 jam setelah sirkumsisi untuk mengecek kemungkinan-kemungkinan tersebut. Setelah itu biasanya tidak diperlukan kontrol lagi, sampai lukanya sembuh sekitar 1 minggu kemudian.
Teknik dasar sirkumsisi menggunakan alat bedah konvensional. Pada perkembangannya digunakan cauter (pisau listrik) maupun laser. Penggunaan alat ini lebih meminimalkan perdarahan dan mempermudah proses sirkumsisi. Ada juga perkembangan teknik tidak menggunakan jahitan tetapi semacam lem jaringan (glue). Ada juga yang menggunakan alat dari plastik.
Namun perkembangan tersebut juga menuntut tingkat keterampilan tersendiri dari dokter yang melakukannya. Karena itu sering terjadi salah sebut, cauterisasi dianggap sebagai laser. Baru sedikit yang benar-benar menggunakan laser di Indonesia, seperti beberapa laser-center di kota-kota besar. Ada pendidikan khusus mengenai penggunaan laser ini, karena penggunaan yang tidak tepat juga berisiko kematian jaringan.
Umur saat menjalani sirkumsisi, sebenarnya tidak ada aturan pasti. Sekarang bahkan banyak dilakukan sirkumsisi pada neonatal usia 1-2 hari. Alasannya, lebih dini lebih baik untuk mencegah UTI pada usia dini. Sekaligus, pada usia tersebut pasien juga lebih kooperatif.
Dulu ada anggapan bahwa bayi baru lahir belum bisa “merasakan” nyeri. Tetapi ini jelas tidak benar. Memang mereka belum bisa menyatakan “rasa” nyeri itu. Untuk mengukur tingkat “nyeri” pada kelompok pasien ini, beberapa penelitian menggunakan parameter tangis, menahan nafas, nampak kebiruan pada sekitar bibir, gelisah atau muntah. Selain penggunaan anesthesi lokal, ada yang memberikan sukrosa dalam pacifier (kempong) untuk mengurangi nyeri pada bayi yang menjalani sirkumsisi.
Ada kritik bahwa sirkumsisi menurunkan kepuasan seksual karena pada preputium yang dipotong tersebut terdapat syaraf-syaraf yang sangat peka. Tetapi laporan Jurnal of Urology April 2005 melaporkan tidak ada perbedaan kepekaan neurologis antara penis yang disirkumsisi dan tanpa sirkumsisi.
Bila terjadi kontroversi seputar sirkumsisi, nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada perempuan. Pada beberapa komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang diserupakan dengan sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan “kembaran” penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu sendiri.
Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan menjalani khitan.
Ada kritik bahwa tindakan sirkumsisi berarti orang tua telah mengambil hak anaknya dalam memutuskan tindakan terhadap tubuhnya. Namun dalam hal ini, pertimbangan keagamaan dan budaya diakui dalam mengambil keputusan. Karena itu, tugas petugas medis adalah memberikan informasi apa adanya, agar orang tua dapat memutuskan sendiri pilihan bagi anaknya. Namun dalam hal khitan pada perempuan, dokter harus menjelaskan bahwa literatur medis tidak mengenalnya.
Berikut beberapa pendapat saya.
Bila bukan karena indikasi medis, usia yang “nyaman” untuk tindakan sirkumsisi adalah sekitar usia 5 tahun. Mengapa? Tindakan sirkumsisi mencakup banyak unsur: kesehatan, keyakinan (agama) maupun psikologi perkembangan (berkait dengan gender misalnya). Secara kesehatan, adanya phimosis secara alamiah akan membaik sesuai umur (tinggal 10% pada usia 5 tahun). Juga kesadaran akan higiene pribadi sudah mulai bisa diajarkan secara mandiri pada usia tersebut. Kebiasaan membersihkan penis saat mandi, adalah kebiasaan positif yang bisa dan seharusnya diajarkan agar menjadi kebiasan mandiri. Bahkan setelah sirkumsisi pun kebiasaan ini harus tetap diteruskan.
Secara agama, usia tersebut menjelang mulai perlu dipenuhinya kewajiban-kewajiban rukun agama. Tanggung jawab pribadi terhadap pengamalan agama, mulai ditanamkan. Secara psikologis, usia tersebut juga mulai mengenal jati diri atas dasar perbedaan gender. Tetapi sekaligus pula mulai ditanamkan kesadaran dan penghargaan atas gender. Secara perkembangan, usia 5 tahun adalah saat-saat menjelang masuk sekolah SD.
Tentang khitan pada anak perempuan, selama di klinik Ibu Anak saya sering menerima pasien dengan kasus ini. Yang saya lakukan adalah menjelaskan kepada orang tuanya agar tidak salah pengertian bahwa khitan perempuan tidak seperti sirkumsisi pada laki-laki. Juga tidak dikenal dalam literatur medis. Setelah mereka paham, silakan bila memang tetap ingin melakukan atas dasar keyakinan.
Yang saya lakukan kemudian hanyalah melakukan pembersihan di daerah sekitar labia mayora dan minora vagina, yang sering terdapat kotoran. Dengan cairan antiseptik secukupnya saja, setelah pembersihan orang tua sudah puas. Apalagi bila memang kebetulan kotorannya banyak, bahkan ada yang sudah mengeras seperti butiran hitam. Saya melakukan kompromi demi tujuan lebih baik, agar tidak ada beban moral pada mereka, tetapi juga tidak ada risiko bagi bayinya.
Semoga bermanfaat.