Kapan operasi amandel?
“Kapan operasi amandel” sering menjadi pertanyaan. Amandel (tonsil) sebenarnya adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh. Karena posisinya, banyak benda asing yang melaluinya dan bisa menimbulkan infekis. Tonsil berperan seperti “penjaga pintu” yang akan menahan setiap serangan. Karena itu tonsil akan membesar sebagai reaksi pertahanan bila ada infeksi.
Dengan demikian, pada dasarnya pembesaran tonsil adalah reaksi positif. Pada anak yang sehat pun, tonsil bisa membesar. Puncak pembesaran ada usia 9-10 tahun, kemudian perlahan akan menyusut. Karena itu, sebisa mungkin tindakan operasi pengangkatan tonsil dihindari. Lebih baik mencari apa yang sering membuat tonsil membesar.
Tapi memang tonsil bisa membesar dan melekat dengan jaringan sekitarnya, permukaannya menjadi keriput tidak rata, kripte (kerut-kerut di permukaan) tampak melebar, dan dipenuhi dengan detritus (bercak kotoran putih-putih seperti butiran beras). Pada kondisi demikian, infeksi pada tonsil harus diperhatikan dengan serius karena dapat berfungsi sebagai sarang penyebar infeksi berat. Penjalarannya bisa menimbulkan antara lain demam rheumatik yang dapat mengenai persendian dan jantung, nefritis (infeksi pada ginjal), infeksi pada mata atau radang pada selaput otak.
Pembesaran tonsil diukur menurut derajatnya terhadap uvula (jaringan kecil di bagian atas pintu masuk dari mulut ke faring). Semakin besar, akan makin mendekati uvula. Ada yang membagi menjadi 4 skala, ada yang membagi 3 skala.
Untuk menentukan tindakan operasi (tonsillectomy), ada 2 kelompok kriteria. Kriteria yang bersifat absolut (segera dilakukan):
- Bila pembesaran sudah menimbulkan obstruksi/hambatan jalan nafas berat, gangguan menelan berat, menimbulkan gangguan tidur (sleep apnea), atau ada komplikasi kardiopulmoner (akibat penyebaran infeksi oleh bakteri streptococcus)
- Adanya peritonsiler abses yang tidak bisa diatasi dengan medikamentosa (dengan obat) dan drainage (pengambilan cairan isi absess).
- Tonsilitis yang sampai menimbulkan kejang demam, atau carrier difteri (sekarang sudah jarang).
- Kondisi tonsil sedemikian rupa yang sampai memerlukan tindakan biopsi untuk penentuan kondisi jaringan menggunakan pemeriksaan patologi.
Sedang kriteria yang bersifat relatif (dipertimbangkan):
- Frekuensi serangan infeksi tonsil : 7 kali/tahun; 5 kali/tahun selama 2 tahun; 3 kali/tahun selama 3 tahun.
- Adanya bau mulut atau nafas yang terus menerus akibat tonsilitis kronis yang tidak membaik dengan terapi obat
- Tonsilitis kronis atau berulang oleh bakteri streptokokus yang sudah resisten terhadap antibiotika beta-laktamase
- Adanya pembesaran tonsil satu sisi (unilateral) dengan kecurigaan sifat neoplastik (tumor/keganasan)
Dari dua kelompok tersebut, ada yang bersifat obyektif oleh dokter/pemeriksaan medis (menentukan sifat infeksi tonsil, menilai kondisi jaringan tonsil dari kripte, debris, dll), tapi ada juga yang bersifat subyektif (gangguan pernafasan, gangguan menelan, gangguan tidur). Yang subyektif ini dirasakan sendiri oleh pasiennya, dalam hal ini dinilai oleh orang tuanya.
Ada juga pertimbangan bahwa fungsi tonsil adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh. Bagaimana kalau dioperasi? Suatu penelitian tahun 2003 di International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology membandingkan kelompok dengan tonsilektomi dan tanpa tonsilektomi pada masa anak-anaknya, sampai 20 tahun paska operasi. Hasilnya tidak ada perbedaan signifikan. Tapi memang ini baru 20 tahun, tentu kalau mungkin diteruskan sampai jangka lebih panjang.
Suatu penelitian lain di jurnal yang sama menyebutkan perbedaan profil imunitas pada anak-anak usia 3-15 tahun, antara yang menjalani tonsilektomi dan tidak. Perbedaan didapatkan pada masa 6 bulan pertama paska operasi. Setelah 6 bulan, profil imunitasnya menjadi tidak berbeda.
Ada amandel yang mengecil sendiri setelah bertambah umur?
Suatu penelitian lain, masih di jurnal yang sama, sekelompok anak didiagnosa untuk menjalani tonsilektomi, tetapi diputuskan ditunggu 1 tahun kemudian, untuk sementara hanya observasi dan obat. Dari kelompok tersebut, sekitar 30% diantaranya tidak jadi menjalani operasi karena kondisi tonsilnya membaik. Salah satu alasan pembatalan operasi adalah terjadi resolusi (pengecilan) tonsil yang semula membesar.
Tahun 2004 kemarin, seorang dokter THT di UNS Solo menulis disertasi tentang profil imun akibat tonsilektomi pada anak-anak, dan memang tidak mendapatkan perbedaan antara kelompok yang menjalani tonsilektomi maupun yang tidak. Namun memang ini pun sifatnya baru jangka pendek, belum bisa kalau jangka puluhan tahun ke depan misalnya.
Berikut pendapat saya.
Pada prinsipnya, selalu diusahakan jalan dengan terapi obat, sebelum terpaksa menjalani operasi. Untuk itu ada baiknya diusahakan menunggu sampai memasuki usia sekolah (sekitar 7-12 tahun). Pertimbangannya:
- Pada usia balita sering karena virus. Semakin bertambah umur, baru kemungkinan bakteri lebih tinggi. Makin besar, makin bertambah usianya, paparan patogen juga makin banyak karena mobilitasnya juga makin tinggi dan beragam.
- Adanya kemungkinan terjadi resolusi (pengecilan) dari tonsil yang sudah membesar.
- Pada masa-masa sekolah ini lebih mudah dinilai, apakah adanya pembesaran tersebut menimbulkan gangguan signifikan terhadap kualitas hidup anak : hambatan bernafas, hambatan menelan, mudah mengantuk(karena hipoksia oleh gangguan aliran udara nafas), sering tidak masuk sekolah karena radang tonsil, yang semua itu bisa berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.
Bila akhirnya terpaksa menjalani operasi, setelah operasi perlu diperhatikan:
- Operasi berlangsung sekitar 30-60 menit dengan anesthesi umum. Setelah operasi di pagi hari, anak biasanya tertidur sampai sore hari.
- Segera setelah sadar dan diijinkan, anak sebaiknya mendapat banyak minum dalam 24 jam pertama. Jangan minum yang bersifat asam seperti jus jeruk atau anggur, karena akan menambah perih lukanya. Juga jangan diberi minum berkarbonat.
- Kadang anak muntah setelah operasi. Bila hanya 1-2 kali dan berwujud makanan biasa tidak masalah. Bermasalah bila lebih sering atau warnanya coklat tua atau berupa darah. Bawalah ke dokter.
- Mulai hari ke 2-3 bisa diberikan makanan lunak seperti jelly, agar-agar, puding, sup hangat atau es krim. Bisa terlihat bercak putih-putih di bekas tempat amandel. Hal ini biasa, seperti juga proses penyembuhan luka di tempat lain.
- Masuk hari 4-5 boleh mulai makan biasa, tetapi menghindari makanan yang berwujud kasar agar tidak memancing perdarahan.
- Selama 1 minggu paska operasi, anak tidak masuk sekolah untuk menghindari paparan infeksi. Setelah menjalani kontrol ke RS dan dinyakan tidak ada masalah, boleh mulai masuk sekolah lagi.
- Mungkin terdengar suara anak berubah pada 1-2 minggu paska operasi. Hal ini terjadi karena ada “ruang baru” di bagian faring. Setelah otot-otot sekitarnya pulih, suaranya akan kembali pulih.
Panduan diet tersebut bersifat umum, biasanya dokter THT akan memberi rincian tersendiri setiap kali menjalani tonsilektomi.
Ada yang bilang “berkumur air garam”. Yang terjadi dengan berkumur air garam adalah bersifat membersihkan dan merubah kondisi di permukaan tonsil agar tidak kondusif untuk bakteri. Apakah bisa mengecil? Bila mampu meredakan/menghilangkan infeksinya, perlahan tonsil akan mengecil. Atau memang tingkat infeksi bisa diturunkan, dan tonsil menyusut sesuai pertambahan usia (melewati masa puncak pembesaran tonsil). Tetapi bila memang “gempuran” infeksi juga sering, bisa saja tidak membantu.
Semoga tidak bingung lagi …