Korlap demo dan moderator milis
Hari ini media masa memberitakan seputar demo menolak revisi UU Ketenagakerjaan no 13/2003. (Pikiran Rakyat, Republika, Solopos, Kompas) Yang terjadi kemudian para pelaku demo melakukan perusakan fasilitas umum. Mereka melakukannya karena kecewa terhadap respon pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Akibatnya pagar Balaikota DKI dirobohkan, beberapa marka lalu lintas dirusak, pot-pot di jalan digulingkan, akibatnya lalu lintas pun macet. Padahal, ini berarti ada kepentingan umum yang terganggu.
Saya yakin, para perumus ide, para penggerak, para koordinator lapangan (korlap), tidak pernah memiliki ide melakukan tindakan kekerasan tersebut. Rumusan ide, target dan sasaran, formasi dan formula gerakan, saya yakin hampir semua demo adalah baik. Tidak ada yang membayangkan harus merusak lingkungan, yang sebenarnya tidak terkait apa-apa dengan tujuan demo itu sendiri. Dalam kelompok inti, didapatkan kesamaan pandangan, kesamaan gerak dan keyakinan.
Tapi kenyataan di lapangan, saya melihat, seringkali para korlap pada suatu posisi yang tidak mudah. Berbagai usaha untuk mengendalikan massa demo, seringkali harus dinodai oleh tindak kekerasan. Pada kondisi demikian, para korlap sering terpaksa tidak mampu menahan gejolak massa. Mulai dari kekerasan verbal berupa kata-kata yang sekedar emosional, sampai kekerasan fisik, terutama kepada barang atau pihak lain yang sebenarnya tidak terlibat. Makin besar jumlah massa, makin beragam yang terlibat, maka risiko untuk menyimpang makin besar.
Boleh dikatakan, meski korlap sudah istiqomah 100% lurus sekalipun, dibantu para anggota inti di tengah-tengah massa yang juga istiqomah, risiko penyimpangan tetap ada. Apalagi bila sampai korlap terseret emosi massa, atau entah bagaimana kehilangan kendali sehingga terkesan membiarkan, maka potensi penyimpangan akan berlipat.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Barat melaporkan tindakan anarkhis kelompok yang memaksa masuk pabrik dan menghentikan proses produksi. Kerugian ditaksir 18-20 milyar. Menanggapi ini, ketua SPSI Jawa Barat menyatakan tindakan tersebut dilakukan oleh oknum, bukan oleh SPSI. “Kami tidak pernah ada upaya untuk melakukan tindakan anarkis atau merugikan pengusaha” katanya (Pikiran Rakyat). Kompas melaporkan, ini merupakan demo terbesar di Jakarta sampai saat ini .
Saya kemudian terpikir bahwa mengelola suatu milis – terutama milis kesehatan – memiliki irisan dengan apa yang dihadapi para korlap. Saya yakin, ide dasar, konsep, target, sasaran, tujuan dan formulasi milis kesehatan, tidak pernah menuju ke arah yang buruk. Semua berhulu pada keinginan menuju lebih baik yaitu bermuara pada peningkatan pelayanan kesehatan yang mangkus dan sangkil. Bersama-sama anggota inti, kemudian gerakan tersebut mulai menempuh waktu.
Masalahnya, ketika waktu berjalan, jumlah anggota makin banyak, latar belakang makin beragam, maka mempertahankan nilai-nilai dasar, semakin berat disandang oleh moderator. Sama seperti korlap yang mengelola demo dengan anggota makin besar. Bertahan lurus pun, belum menjamin tidak menyimpang, apalagi kalau sampai terseret arus atau tidak punya cukup waktu untuk mengendalikan.
Alih-alih menjadi sumber informasi kesehatan dalam memandu pasien menjadi mitra diskusi dokter, justru yang terjadi erosi dan krisis kepercayaan pasien terhadap dokter. Alih-alih menjadikan pasien rasional, bisa berisiko terseret ke mengalami Internet Printout Syndrome atau Cyberchondriacs.
Menjadi moderator milis seperti milis kesehatan maupun menjadi korlap demo, adalah tugas berat yang hanya sanggup disandang oleh orang-orang pilihan. Konsistensi, wawasan luas, ketegasan sekaligus keluwesan serta kemampuan meyakinkan anggota milis dan massa demo, menjadi corak khas moderator dan korlap yang berhasil. Kuncinya adalah kemampuan melakukan manajemen konflik. Disebut berhasil bila tercapai target dan tujuan, terpenuhi sasarannya, tanpa harus terjadi atau hanya dengan penyimpangan minimal.
Salam hangat bagi para moderator milis dan korlap, semoga prestasi Anda mendapat tempat yang selayaknya.