Mengatur, bukan melarang merokok …

Seorang pengunjung berkomentar di blog ini tentang kebiasaan merokok: Lalu bagaimana dengan dokter2 yang ngerokok?? Kalau di RSDM kami pakai kode “Nebu” (Plesetan dari kata Nebulizer)… Dokternya ngerokok lalu pasiennya gimana?? “Ah, pak dokter juga ngerokok koq? jadi sya ikut aja.

Pahit memang. Perkenankan saya menampilkan ulang tulisan tentang rokok ini 3 tahun lalu (Mei 2005). Sedikit kutipannya di bawah, selengkapnya silakan diunduh bila menghendaki.  

Saya kira, yang perlu diatur adalah tempat-tempat bagi para perokok. Soal dokter merokok, di Jepang pun banyak dokter perokok. Namun, mereka tidak berani merokok di sembarang tempat. Hanya di tempat-tempat dan waktu khusus mereka merokok. 

Beberapa hari kemarin, di Jakarta dilakukan razia merokok. Pelaksananya birokrat, aparat keamanan, termasuk LSM. Tujuannya, agar Perda yang sudah diputuskan, bisa dilaksanakan. Itu pun – katanya – setelah dibutuhkan waktu sosialisasi selama 3 tahun terakhir. 

Beberapa waktu lalu, terdengar lontaran opini tentang tuntutan agar MUI mengeluarkan fatwa “merokok itu haram”. Terus terang, sebagai pribadi – sebagai sebuah keyakinan – saya sependapat. Namun, ada kekhawatiran juga, bahwa keluarnya fatwa semacam itu, bukan tidak mungkin justru kontraproduktif bagi citra MUI sendiri. Rujukannya? Toh Perda dengan ancaman hukuman jelas saja, sejauh ini tidak produktif. Bahkan setelah sosialisasi 3 tahun. Padahal isinya “hanya” mengatur, bukan melarang. 

Sebenarnya, “aturan” paling baku – kalau boleh disebut asasi – adalah tenggang rasa sesama. Kalau sadar bahwa merokok itu merugikan orang lain, tanpa Perda pun seharusnya bisa menahan diri. Tapi entah mengapa, seolah-olah sekarang justru bukan perokok yang harus menenggang perasaan para perokok. 

Mari kita kembalikan kepada hati nurani untuk mengatur, tetapi bukan melarang merokok. 

Kutipan :

Kalau kita berhitung sebentar, laporan WHO tahun 2002 memperkirakan 215 milyar batang rokok per tahun dihisap orang Indonesia. Bila dipatok pada harga rata-rata Rp. 500/batang saja, berarti Rp 107 trilyun rupiah per tahun,  atau 200 juta/menit dibelanjakan untuk membeli rokok. Angka ini menjadikan kita negara konsumen rokok terbesar ke 5 di dunia setelah China, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia.  Padahal sekali lagi, sebagian besar perokok – yang membelanjakan uang sebesar itu setiap menitnya – adalah kita yang berada di sekitar garis kemiskinan.

Yang tidak boleh tergesa-gesa disalah pahami, bukan merokoknya yang dilarang, tetapi tempatnya yang diatur. Sebagai sama-sama negara “perokok”, kita bisa belajar banyak dari Jepang dalam hal ini. Sayang, jangankan kita yang “orang biasa”, tidak sedikit para petinggi negara, anggota parlemen, dosen bahkan dokter yang tidak peduli tetap merokok, meski saat berada di ruang ber-AC sekalipun.

Penulis memilih kata “kita” pada tulisan ini, justru untuk menghindari terbentuknya ruang antara “saya” dan “mereka” yang kebetulan perokok, terutama dalam posisi penulis sebagai dokter dan dosen yang tidak merokok. Mengapa, karena merokok adalah masalah kita bersama, risikonya pun kita tanggung bersama, bukan hanya oleh mereka yang merasakan “kenikmatan”nya. Sekarang, biarkan nurani kita yang berbicara …

Selengkapnya…