Poligami? Memangnya siapa aku ini?
Ada berita menarik kemarin, muncul dari pemberitaan seputar rencana pernikahan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Beliau menyatakan: Segeralah Menikah, Kalau Sudah Punya Jangan Nambah (detikcom 15/04/2008 18:15 WIB). Bagi saya ini sangat menarik.
Topik poligami memang seolah tidak akan pernah kehilangan daya tarik untuk dibahas. Saya tidak merasa berkompeten bicara soal dalil – karena saya baru mampu berdalih. Namun saya menemukan satu tulisan yang dalam kacamata awam saya cukup obyektif. Tulisan di Suara Merdeka ini ditulis oleh Abdulllah Faqih seorang Mahasiswa S2 Interdisciplinary Islamic Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurut Abdullah, Ada dua kosa kata dalam Alquran yang merujuk konsep keadilan. Pertama, qashata dan ‘adala. Istilah pertama (qashata) lebih menunjuk keadilan yang bersifat formal-material, sedangkan istilah kedua (‘adala) lebih merujuk keadilan maknawi (psikologis) yang menyangkut kualitas perasaan cinta, kasih sayang, perhatian dan lain-lain.
Alloh menyatakan dalam An-Nisa 129 bahwa: “Falan tashtathi’u ‘an ta’dilu baina al-nisa’ walau haratstum (engkau tidak akan mampu berbuat adil atas perempuan meski engkau berusaha keras untuk itu). (Selengkapnya di teks tersebut).
Saya menjadi teringat pada satu puisi yang dulu banyak beredar di milis-milis. Isinya tentang seorang suami yang merasa menjadi matahari, yang harus membagi sinarnya tidak hanya untuk bumi, tetapi juga planet-planet lain. Untuk itu dia minta pengertian kepada istrinya untuk berpoligami.
Apa jawab istrinya? Iya sih kalau benar kau adalah matahari. Tapi cobalah bercermin, bukankah engkau hanya bagaikan lilin kecil menyala remang-remang di sudut kamar?
Penutup tulisan Abdullah Faqih tersebut kembali mengingatkan untuk ada baiknya kita merujuk pada salah satu hadis Nabi tentang keinginan Ali bin Abi Thalib memadu Fatimah yang dilarang oleh Nabi, karena hal ini hanya akan membuat ketidakadilan dan self-depriation.
Kalau seorang Ali bin Abi Thalib saja dicegah oleh Nabi, kalau seorang Hidayat Nur Wahid saja memilih hanya satu istri, apalagi hamba ini? Memangnya siapa saya ini? Merasa bisa adil seandainya berpoligami? Jauh panggang dari api, begitu kata para bijak bestari.
Bagaimana dengan Anda? Mangga silakan berpandangan sendiri-sendiri.
(Tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak dalam kerangka mempersoalkan pandangan orang lain).