Puasa: Nglurug tanpa bala …

(Tulisan berikut ini adalah isi kultum yang penulis sampaikan memenuhi tugas mengisi kultum di masjid perumahan tempat penulis tinggal. Mohon maaf, ternyata tulisan dalam huruf Arab tidak bisa ditampilkan dengan baik, atau penulis yang belum tahu caranya. Setelah membaca tulisan ini, kalau ada benarnya, itu adalah milik Allah. Sedangkan masih adanya kekurangan, adalah semata-mata kekurangan penulis sendiri. Semoga bermanfaat. Amin. Terima kasih).

Assalamualaikum wr wb.

Tidak seperti ibadah lainnya, puasa memiliki keistimewaan. Semua amal kebaikan manusia akan diberi pahala oleh Allah, secara berlipat dari 10 kali sampai 700 kali. Tetapi untuk puasa, salah satu hadist Qutsi menyebutkan firman Allah:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

Allah swt ‘azza wa jalla berfirman: “Kecuali puasa karena ia untuk saya maka saya yang akan membalas untuknya

Kita ingat dalam Perang Badar, kaum muslimin dengan jumlah jauh lebih sedikit, hanya sepertiga dari jumlah musuh, tetapi dengan pertolongan Allah dapat memenangkan perang tersebut. Namun setelah perang, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa “kita baru saja meninggalkan sebuah perang kecil, dan menuju sebuah perang yang besar”. Para Sahabat bertanya “apa perang besar itu ya Rasullulah?” Beliau menjawab “Perang besar itu adalah perang melawan hawa nafsu”.

Hal ini sangat erat kaitannya dengan puasa. Selama puasa, kita dilatih untuk menahan diri dari hal-hal yang menyenangkan. Makan, minum dan hubungan seks di siang hari, itu hal-hal yang nampak nyata. Lebih dari itu, kita juga menahan diri dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata tidak berguna sebagaimana ciri orang-orang mukmin yang memperoleh keuntungan:

وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.

Puasa juga mencirikan usaha melatih kesabaran. Sabar menghadapi ujian berpuasa itu sendiri, sekaligus sabar menghadapi berbagai masalah. Puasa juga melatik ketajaman jiwa sosial, dengan memperbanyak sedekah dan membayar zakat di akhir Ramadhan. Ketajaman itu diperoleh dengan mengekang nafsu sekarah, mendorong semangat berbagi. Jadi intinya, puasa adalah menahan hawa nafsu, dengan satu misi menjadi orang-orang yang bertakwa.

Mungkin banyak juga ibadah lain dengan misi serupa. Tetapi menariknya, dalam hal ini pun ibadah puasa tidak sama dengan ibadah yang lain. Tidak ada yang tahu seberapa “kualitas” kita berpuasa. Hanya kita sendiri dan Allah yang mengetahuinya. Artinya, dalam perang melawan hawa nafsu itu, kita berperang sendirian.

Menarik untuk melihat kaitan kesendirian dalam berperang melawan hawa nafsu selama puasa ini, dengan salah satu pitutur filosofi jawa. Ada beberapa tafsir lain memang. Tetapi saya lebih suka menafsirkannya seperti uraian berikut ini.

Disebutkan dalam Serat Wedhatama agar kita berpegang 4 pitutur (ajaran). Pertama adalah “Nglurug tanpa bala”. Terkait dengan puasa, ini menggambarkan “kesendirian kita dalam melawan hawa nafsu”.

Ada satu kisah menarik. Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa suatu hari dia berjalan bersama Amirul Mukminin Umar bin Khattab dari Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan anak gembala. Lalu timbul niat dalam hati Khalifah Umar untuk menguji sejauh mana kejujuran dan keamanahan si anak gembala itu.

Maka, terjadilah dialog berikut ini (disarikan menurut arti):
Kalifah : ‘Wahai anak gembala, kambing siapa sebanyak ini?”
Anak    : “Oh, ini milik tuanku”
Kalifah : “Apakah tuanmu tahu berapa jumlahnya, apakah ada yang sakit, apakah ada yang mati, apakah ada yang beranak dan seterusnya”
Anak    : “Tidak, tuanku hanya mengetahui apa-apa tentang kambing itu dari laporanku”.
Kalifah : “Kalau begitu, bagaimana kalau kau jual kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!”

Anak    : “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya”
Kalifah : “Atau kita sembelih saja, kita makan bersama-sama”
Anak    : “Bagaimana kalau tuanku bertanya tentang kambing itu”
Kalifah : “Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala.”

Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ”Fa ainallah?” (Kurang lebih maknanya adalah, ”Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?’

Subhanallah!

Boleh jadi, tidak ada orang yang tahu seberapa kualitas puasa kita. Mudah saja kita membohongi mereka. Tetapi bila kita nglurug tanpa bala dengan keyakinan terus bertanya “Fa ainallah” maka kita pun akan yakin bahwa Allah terus bersama kita dan melihat semua perbuatan kita:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
… dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan

Keyakinan akan kebersamaan dengan Allah ini yang menjadi modal utama untuk berani nglurug tanpa bala. Sekaligus, menjadi teman yang senantiasa mengingatkan kita dari perbuatan menurutkan hawa nafsu ke hal-hal yang buruk.

Bila perang itu akhirnya kita menangkan, maka ajaran berikutnya menyatakan kita akan menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan). Mengalahkan hawa nafsu, tidak akan membuat kita direndahkan. Justru akan semakin meningkat derajat diri kita. Dalam hal puasa, kita akan makin mendekati derajat orang-orang yang bertakwa.

Selanjutnya, derajat itu akan berimplikasi pula ke ajaran berikutnya sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta). Ketakwaan akan membawa ke sifat tawakal hanya kepada Allah. Sifat ini mendorong sikap untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah dilimpahkan Allah. Tidak ada lagi dorongan untuk serakah. Kita rajin berusaha, tetapi hasilnya diserahkan kepada kehendak Allah, yang Maha Tahu yang terbaik bagi kita. Kita senantiasa bersyukur karena:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌۭ…
dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Sifat tawakal juga akan membawa kita ke ajaran ke empat yaitu sekti tanpa aji-aji (sakti tanpa membawa senjata). Orang Jawa sering menyebutnya “pasrah mring Pangeran”. Dengan tawakal, kita akan merasa senantiasa aman, tidak penuh was-was dan prasangka negatif. Dengan tawakal kita tidak perlu selalu merasa cemas. Dengan keyakinan telah melaksanakan sesuai perintahnya, maka kita yakin Allah selalu bersama kita:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا…
Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS 9:40)

Saya memandang kaitan berupa garis lurus antara ibadah puasa dengan 4 ajaran tersebut. Hubungan linier itu tergambar jelas. Ajaran dalam filosofi jawa itu telah berumur panjang. Sebagai orang Jawa, kita sering mendengarnya. Bahkan 4 ajaran itu pun tidak jarang tampil dalam wahana dan diskursus nasional. Dan bagi saya, berpuasa sesuai ajaran Islam maupun nilai-nilai ajaran filosofis tersebut, ternyata berada di jalur yang sama. Bagi saya, inilah makna tersembunyi dari ujaran dalam tembang Pangkur:

Mrih kretarto pakartining ngelmu luhung
Kang tumprap ing tanah Jawi
Agama ageming aji.

Selamat meneruskan ibadah puasa, semoga meningkat derajat kita. Amin.

Wassalamualaikum wr wb