Puasa yang Menyehatkan (Koran Tempo, 20 Juli 2013)

Saya mengawali puasa Ramadhan tahun ini dengan tubuh kurang fit. Kebetulan beberapa kali harus ke luar kota di hari-hari menjelang puasa. Berangkat dini hari, Shubuh di tengah perjalanan. Sampai disana berdiri dan berbicara 3-5 jam. Sampai di rumah lagi sudah larut. Sehari sebelum sampai hari ketiga puasa, badan pegal, demam dan lelah. Malah kemudian berlanjut jadi nyeri di dada kiri.  Waduh! Untunglah hasil pemeriksaan selanjutnya, bukan problem di jantung, ototnya yang nyeri. Minimal sementara demikian.

Tetapi hasil pemeriksaan juga menunjukkan risiko nyata: saya sudah over-weight, profil lipid dan asam urat melambung, lingkar perut membuncit, dan jarang berolah raga. Efek untuk ibadah: posisi tubuh tidak nyaman saat sholat.

Teringat sebuah nasehat: Berpuasalah niscaya kamu sehat. Atau agar tidak terjebak polemik soal sanadnya, saya ingat nasehat lain bahwa: Perut  manusia itu tempat segala macam penyakit, sedangkan pencegahan adalah pokok dari segala pengobatan. Sindrom metabolik sudah mengancam saya. Tanda paling kelihatan: lingkar perut makin subur. Tindakan pencegahan harus digiatkan. Apalagi mumpung bulan Ramadhan.

Manfaat puasa untuk kesehatan  sudah banyak dibahas. Menjadi lebih sehat secara fisik sampai mencegah dan mengobati beberapa penyakit. Bahkan aman untuk yang sakit jangka panjang sampai batas tertentu. Juga tidak mengganggu kinerja bahkan untuk atlet profesional sekalipun.

Beberapa analisis itu menggunakan alur pikir nalar normatif saja. Tetapi tidak sedikit pula yang didasarkan pada referensi ilmiah. Bahkan ada meta-analisis terhadap ratusan laporan jurnal dari luar negeri, termasuk dari peneliti yang bukan muslim. Simpulannya: puasa itu memang menyehatkan.

Namun sering kita tidak sadar, puasa yang menyehatkan itu mengandung syarat. Bukan semata hadiah. Menjadi sehat karena puasa juga menuntut logika terbalik: jangan harap jadi sehat kalau berpuasanya tidak seperti tuntunan. Laporan ilmiah menunjukkan, puasa yang sehat adalah yang teratur dan berkala. Bukan insidental. Bukan yang putus-nyambung semaunya. Sahur di akhir waktu, dan mensegerakan berbuka yang dituntunkan. Ini sesuai dengan metabolisme tubuh yang sehat.

Laporan ilmiah lain menyatakan: selama berpuasa kadar kortisol menjadi terjaga stabil. Secara emosi lebih tenang, pikiran lebih fokus, tidak banyak stress, imunitas tubuh seimbang. Alhasil: tubuh lebih sehat, kinerja lebih maksimal. Ini dicapai kalau puasanya ikhlas, bukan karena terpaksa. Olahraga juga tetap bisa jalan selama berpuasa.

Ancaman tersembunyi dari puasa yang terpaksa: pada malam hari kortisol melonjak tinggi. Jadilah keinginan balas dendam yang terjadi. Ini bisa diatasi kalau ritme puasa juga terwujud di malam hari: penuh gairah ibadah, bukan gairah nafsu, terutama nafsu makan. Kalau puasanya terpaksa dan modelnya balas dendam, sungguh besar risikonya bukan?

Mari jalani puasa yang menyehatkan.