Suara Hati Dokter: Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita?
(Solopos, 4 Desember 2013)
Menarik membaca paparan “Doktor Mogok adalah Malapraktik” (Solopos, 2/12/2013). Sebagai seorang anggota Dewan Kehormatan Ikatan Advokat Indonesia, tentu beliau penulis artikel dimaksud, sangat menguasai permasalahan seputar hukum. Karena itu, sebagai hanya seorang dokter dan dosen, penulis menempatkan diri dalam penulisan berikut ini untuk lebih banyak bertanya.
Awal mula kegaduhan soal dokter ini berawal dari munculnya penangkapan Dr Ayu di Manado sebagai terpidana kasus malapraktik sesuai keputusan MA. Berita ini kemudian direspon dengan gelombang keprihatinan para dokter, yang semakin lama semakin meluas, sampai ke tingkat nasional. Puncaknya adalah aksi keprihatinan secara nasional pada tanggal 27 November 2013 kemarin. Atas aksi tersebut, penulis terdahulu menyebut sebagai malpraktik. Alasannya adalah termasuk kesalahan profesional pasif karena dokter mogok kerja dan menelantarkan pasien. Disebutkan juga bahwa hal itu direstui oleh induksi organisasi PB IDI. Ada yang harus diluruskan dalam hal ini.
Dalamsuratnya tertanggal 25 November 2013, atas dasar hasil Rapat Koordinasi Nasional dengan para Ketua Perhimpunan Dokter, PB IDI menyerukan 2 hal utama. Pertama, agar para dokter bertafakur di rumah pada tanggal 27 November 2013 disertai doa semoga seluruh bangsa Indonesia senantiasa sehat. Kedua, sebagai aksi solidaritas, para dokter diseru untuk mengenakan pita hitam di lengan kanan sebagai tanda keprihatinan. Juga, bila hendak menyuarakan aspirasi di publik, untuk dapat disampaikan dengan cara yang menjaga harkat dan martabat dokter.
Seruan itu lebih dahulu dinyatakan dengan syarat bahwa pelayanan emergensi dan untuk masyarakat miskin tetap berjalan. Penulis pribadi terlibat dalam rapat-rapat maraton di rumah sakit tempat penulis bekerja pada tanggal 26 November 2013. Tujuannya semata-mata untuk merumuskan formulasi agar baik aksi keprihatinan maupun pelayanan di rumah sakit tetap dapat berjalan. Diputuskan bahwa pelayanan pelayanan di rawat inap, IGD, rawat jalan yang bersifat segera dan tindakan penting yang sudah terjadwal seperti cuci darah maupun kemoterapi, tetap berjalan seperti biasanya. Kemudian informasi mengenai rencana pengaturan pelayanan dimaksud, telah penulis informasikan di media sosial untuk memperoleh efektivitas penyebaran. Harapannya, masyarakat bisa lebih menyesuaikan untuk keesokan harinya sekaligus upaya itu untuk meminimalkan distorsi informasi.
Pagi-pagi sebelum dimulainya aksi, penulis dan teman-teman sejawat, lebih dulu memastikan jalannya pelayanan sesuai rencana. Baru setelah itu, sebagian diantara kami memulai aksi. Sedangkan sebagian yang lain, tetap menjalankan pelayanan di rumah sakit. Jelas dalam hal ini bahwa tidak ada niatan untuk menghentikan pelayanan emergensi (gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera). Sedangkan untuk kasus-kasus yang ringan, maka sebagaimana biasa pada hari-hari libur, masih bisa dilayani pada hari berikutnya.
Berita-berita yang kemudian muncul tentang terhambatnya pelayanan, selayaknya dapat disikapi lebih bijak. Misalnya berita pasien melahirkan di kamar mandi. Ternyata dari penelusuran didapatkan bahwa pasien itu dalam penanganan IGD. Ketika ke kamar mandi untuk buang air kecil, ternyata terjadi his (kontraksi untuk mulai proses melahirkan). Segera pasien ditolong dan ditangani beberapa lama sampai akhirnya melahirkan di ruang bersalin. Informasi ini berasal dari sejawat dokter yang menangani langsung kasus tersebut. Juga tentang pasien yang disebutkan “ditolak”, ternyata adalah memang kasus yang tidak tergolong emergensi. Tentu saja, dengan usaha maksimal pun masih ada ketidak nyamanan dalam pelayanan. Namun apakah sebesar itu salah para dokter sehingga aksi itupun terus dihujat?
Apakah semua berita tentang terhambatnya layanan itu tidak benar? Banyak yang diberitakan sebagai akibat “dokter demo” itu sebenarnya adalah berita-berita yang sudah rutin kita dengar sejak jauh sebelum aksi 27 November 2013. Pasien terlantar tidak mendapat kamar karena rumah sakit penuh, pasien kurang mampu terhambat karena administrasi sistem asuransi, anak-anak dengan gizi kurang, terpaksa tidak optimalnya terapi karena batasan asuransi, adalah bukan berita baru. Ini adalah potret pelayanan kesehatan kita yang memang masih perlu diperbaiki bersama. Kasus dr Ayu dkk, dalam pandangan penulis, hanyalah starting point atau pintu masuk untuk mengungkap banyak masalah dalam bidang kedokteran maupun sistempelayanan kesehatan kita. Itu yang lebih ingin disuarakan pada Aksi 27 November 2013 kemarin. Itu pula yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan kita bersama, bukan hanya para dokter.
Hari Sabtu lalu, ada berita di koran nasional bahwa pemerintah masih menunggak sebesar 1,8 T (trilyun agar tidak salah dibaca) untuk anggaran Jamkesmas dalam bingkai BPJS 2014. Artinya itu adalah uang yang seharusnya untuk memenuhi premi bagi masyarakat miskin. Padahal program itu akan mulai berjalan 1 Januari 2014 yang tinggal menghitung jari. Apakah hal ini bukan masalah besar bagi kita bersama?
Beberapa saat lalu juga muncul berita dalam koran nasional bahwa kalau BPJS dilaksanakan dokter bisa memperoleh 924 juta per tahun. Padahal kalau diuraikan secara rinci, angka 19.225 rupiah itu adalah angka premi untuk per jiwa, bukan untuk dokternya saja. Jatah untuk kapitasi dokter masih belum final. Maksimal kalau mengikuti patokan layanan dari asuransi kesehatan pemerintah yang sekarang berjalan, maka angka kapitasi di kisaran 6 ribu rupiah. Dari angka itu, maksimal yang bisa diperoleh sebagai jasa dokter untuk setiap pasien adalah 44% nya. Betul, hanya sekitar 2500 rupiah. Mohon kiranya dapat dibantu merenung untuk dibandingkan dengan restribusi parkir di zona A, tanpa berarti meremehkan pekerjaan saudara-saudara kita yang bertugas di sana. Salahkah kalau penulis dan teman-teman dokter berharap, bahwa pemberitaan semacam itu dapat lebih jernih disampaikan?
Hal kedua yang menjadi kritik dari artikel terdahulu adalah klaim bahwa dokter tidak pernah berniat buruk dan dokter tidak pernah salah. Sebagaimana komunitas profesi lainnya, pasti ada dokter yang tidak menjalankan profesi dengan benar. Sama dengan adanya hakim yang “menjual pasal”, polisi yang minta suap, pengacara yang bermain perkara, jaksa yang tersandung korupsi, wartawan “bodrek”, akuntan nakal, notaris menyalahgunakan sertifikat, insinyur konsultan proyek melakukan mark-up, dosen menjual jasa penyusunan tugas akhir atau peneliti yang plagiat. Tetapi penulis yakin, masih jauh lebih banyak para anggota profesi itu yang tetap berusaha lurus menjalankan profesinya, tanpa niat jahat. Pasti ada perasaaan tidak terima dan berontak, kalau ada penilaian buruk terhadap profesi akibat adanya oknum anggotanya yang tidak profesional. Begitu juga dengan dokter. Dalam bingkai itulah, penulis juga yakin bahwa dokter yang benar, pasti tidak pernah berniat buruk kepada pasiennya. Apakah salah keyakinan penulis yang demikian?
Apakah dokter tidak pernah salah? Dulu sekali barangkali berkembang dalam masyarakat bahwa “dokter itu tidak pernah salah”. Jadi justru itu berkembang di masyarakat. Namun sejak era Voltaire (1694-1778) sekalipun, sudah disadari bahwa dokter itu pun berisiko melakukan kesalahan karena luasnya masalah yang dihadapi. Tentu saja kesalahan yang tidak disengaja. Semua itu didasari kenyataan bahwa “medicine is a science of uncertaintity and art of probabilities” (William Osler, 1849-1919) yang mendasari era Evidence-based Medicine (Terapi berbasis bukti).
Sejak era 2000an, semakin berkembang paradigma patient safety (keselamatan pasien) dalam layanan kedokteran. Dalam konsep itu, justru sangat dipahami bahwa to err is human (melakukan kesalahan tanpa sengaja itu adalah manusiawi). Karena itu dikampanyekan untuk to build a safer system (membangun sistem yang lebih aman). Jelas disadari bahwa dokter bukanlah dewa yang tidak pernah salah. Dengan sistem yang baik, maka risiko kesalahan yang memang manusiawi itu, bisa diluruskan.
Terjadinya hal yang tidak diharapkan dalam pelayanan kesehatan, terbagi atas Kejadian Potensial Cedera, Kejadinan Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Sentinel. Berturut-turut semakin berat implikasinya, namun juga berturut-turut makin kecil frekuensinya. Bila terjadi hal-hal itu, maka harus dilakukan penelusuran akar masalah (root cause analysis) dan dilaporkan kepada Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPKRS) Kementerian Kesehatan. Dasarnya adalah Pasal 43 UU Rumah Sakit no 44/2009, diperjelas dalam Permenkes tentang Keselamatan Pasien no 1691/2011.
Tujuan dari pelaporan secara nasional itu adalah agar menjadi pelajaran sehingga tidak terulang. Tidak semua kejadian itu menimbulkan kerugian bagi pasien. Bisa jadi juga “kelalaian” itu terjadi akibat keterbatasan kondisi setempat, maupun batasan dalam regulasi asuransi. Justru dengan sistem yang semakin baik, semakin kecil kerugiannya, semakin jarang kejadiannya. Tanpa menghilangkan tanggung jawab personal, tujuan mencari akar masalah adalah memperbaiki sistem agar “kelalaian” itu tidak terulang.
Adanya unsur kesengajaan dalam terjadinya kesalahan oleh dokter, sudah pasti harus ditindak. Hal ini misalnya diatur dalam Pasal 190 UU Kesehatan no 36/2009. Untuk hal seperti ini, tentu tidak layak dokter kalau sampai demo. Contoh nyata, bulan Maret 2013 kemarin ada keputusan MA yang memvonis seorang dokter akibat kelalaian sehingga perawat yang diberi instruksi memberikan obat, melakukan kesalahan dan berakibat meninggalnya pasien. Mohon dikoreksi kalau penulis salah mengingat, bukankah saat itu sama sekali tidak ada reaksi negatif dari dokter, apalagi sampai demo?
Sedangkan unsur kelalaian oleh dokter, diatur dalam UU Praktek Kedokteran no 29/2004, UU Kesehatan no 32/2009 maupun UU Rumah Sakit no 44/2009, tidak mengandung unsur pidana. Penilaiannya diberikan wewenang kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 55-65 UU Praktek Kedokteran no 29/2004). Untuk diketahui, MKDKI ini bersifat otonom dengan keanggotaan terdiri dari 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum (pasal 55). Dengan demikian, salahkah bila penulis merasa bahwa sinyalemen “MKDKI itu tidak obyektif” adalah tidak pada tempatnya?
Hal berikut yang dikritik dalam artikel terdahulu adalah alasan mengapa diputuskan terjadi malpraktik dalam kasus Dr Ayu dkk. Penulis menyadari sangat kurang pengetahuan soal hukum, sehingga memilih tidak membahas secara khusus kasus tersebut. Pertama soal persetujuan tindakan. Penulis artikel terdahulu merujuk pada pasal 45 ayat 1 UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Disebutkan bahwa setiap tindakan yang berisiko tinggi harus diberikan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Penulis yakin, tidak ada dokter yang membantah isi pasal tersebut.
Namun ada penjelasan atas pasal tersebut dalam dokumen yang menyatu dengan UU dimaksud. Disebutkan dalam penjelasan pasal 45 ayat 1 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan”. Barangkali hal ini belum sempat terbahas pada artikel terdahulu tersebut. Secara rinci, hal ini juga disebutkan dalam Pasal 4 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran no 290/2008 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Dari sudut pandang institusi, hal ini juga diperkuat pada pasal 45 ayat 2 UU Rumah Sakit no 44/2009 bahwa “Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia”. Sebaliknya, bila sampai dokter dan/atau rumah sakit sengaja tidak mau memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat, maka ancamannya adalah pidana (Pasal 190 UU Kesehatan no 32/2009). Hal ini menjadikan serba salah. Bagaimana seharusnya para dokter bertindak dalam kondisi seperti ini? Berikut ada contoh kasus nyata, baru-baru ini saja terjadi, setelah maraknya kasus Dr Ayu.
Kejadian ini di sebuah pinggiran kota di pulau Jawa, bukan di pelosok. Malam itu ada seorang pasien hamil diantar ke sebuah RS dengan kondisi kejang-kejang. Diantar oleh mobil ambulans, sedangkan keluarganya dilaporkan akan menyusul. Kondisi pasien gawat, janinnya sudah menunjukkan tanda-tanda depresi (gawat janin). Seharusnya dilakukan operasi cito (segera, tanpa direncanakan sebelumnya). Namun, para dokter yang bertugas tidak berani bertindak, sebelum keluarganya datang. Selama menunggu, dicoba dilakukan pemeriksaan EKG dan foto rontgen karena bercermin pada kasus di Manado. Tetapi ternyata sulit dilakukan karena kondisi pasien kejang. Bila diberi obat anti kejang, justru itu bisa membahayakan. Setelah ditunggu-tunggu dengan penuh kecemasan, baru 2 jam kemudian, suaminya datang. Apa yang terjadi? Suami pasien marah-marah mengapa istrinya ditelantarkan tidak segera dioperasi. Bagaimana seharusnya dokter bertindak dalam hal ini?
Masalah kedua yang menarik adalah soal kompetensi dan kewenangan. Disebutkan bahwa Dr Ayu dkk dinilai tidak memenuhi unsur kompetensi dan kewenangan. Dalam naskah keputusan PN Manado dan MA, yang penulis dapatkan dari situs resmi, diketahui bahwa status Dr Ayu dkk saat kejadian adalah residen atau peserta didik. Karena itu dinilai dalam putusan MA sebagai tidak berwenang karena belum Dokter Spesialis dan tanpa pendampingan. Bahkan ssebuah koran nasional terbitan tanggal 28 November 2013 di halaman depan menulis judul “SIP Dr Ayu palsu” .
Memang betul bahwa setiap dokter harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP) sebelum menjalankan praktik (UU Praktek Kedokteran no 29/2004). Dalam hal sebagai peserta didik, maka yang harus ada dan menjadi kewajiban pribadi adalah STR sebagai Dokter Umum karena posisinya sedang belajar menjadi Dokter Spesialis. Untuk itu, penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk menerbitkan SIP Kolektif yang berlaku di RS Pendidikan dan/atau jejaringnya selama yang bersangkutan dalam pendidikan (Pasal 7 Permenkes tentang Izin Praktik Kedokteran no 512/2007). Kompetensi yang dimiliki seorang peserta didik, dinilai dan ditentukan sesuai aturan Kolegium (Dewan Pakar) masing-masing bidang spesialisasi. Semakin tinggi kelasnya dalam pendidikan, makin lengkap tingkatan kompetensinya. Dalam kasus Dr Ayu, sebelum kejadian tahun 2010 tersebut, yang bersangkutan telah melakukan lebih dari 100 kali operasi sesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah keputusan PN Manado). Sesuai penjelasan, yang bersangkutan memang sudah pada tahap mandiri. Artinya sudah dinilai mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melaporkan kepada pembimbingnya.
Kalaupun misalnya memang benar bahwa SIP bagi Dr Ayu dkk belum diterbitkan, maka hal ini bukan merupakan klausul pidana. Memang pasal 75, 76 dan 79 UU Praktek Kedokteran no 29/2004 mengandung unsur pidana terkait tidak adanya SIP. Namun, terhadap hal itu telah dilakukan Judicial Review pada tahun 2007. Keputusan MK menyatakan bahwa unsur pidana terkait pasal-pasal tersebut, tidak lagi mengandung kekuatan hukum (Keputusan MK No 4/PUU-V/2007). Tugas tentang SIP bagi peserta didik adalah kewajiban penyelenggara pendidikan dan Dinas Kesehatan setempat.
Aturan tersebut pula yang dirujuk pada kasus Dr Ayu karena kejadian tahun 2010. Pada tahun 2011, ada perbaruan aturan dimaksud dengan Permenkes no 2052/2011. Perubahannya secara prinsip tidak mengubah terkait SIP bagi peserta didik, karena yang ditambahkan adalah tentang SIP bagi Dokter yang secara khusus ditugaskan ke RS daerah sebagai Tenaga residen calon spesialis maupun Dokter Internship. Memang di banyak daerah pelosok, sangat kekurangan tenaga dokter spesialis. Akhirnya Kemkes mengambil kebijakan bahwa residen yang sudah dinilai kompeten, dikirim ke daerah untuk melaksanakan tugas pelayanan dokter spesialis. Pegangannya adalah Surat Tugas dari Kemkes dan persetujuan dari Dinas Kesehatan setempat. Tentu saja, dalam banyak kasus, mereka bekerja tanpa didampingi oleh Dokter spesialis. Karena adanya kasus ini, muncul kekhawatiran pada sejawat-sejawat dokter yang dikirim ke daerah tersebut. Apakah mereka harus ditarik agar tidak bertabrakan dengan yurisprudensi kasus dr Ayu? Lantas, bagaimana pelayanan pasien di sana? Mohon kiranya kepada para ahli hukum untuk dapat memantapkan hati para dokter, bagaimana seharusnya kami bertindak?
Hal lain adalah soal “tanda tangan karangan” pada surat persetujuan tindakan. Setelah membaca naskah keputusan PN Manado maupun MA yang penulis peroleh dari situs resmi, disebut bahwa tanda tangan pada surat persetujuan di kasus Dr Ayu itu adalah “karangan”. Dasarnya tidak sesuai dengan tanda tangan pada KTP, Kartu Askes dan Slip pengambilan uang di bank. Regulasi menyebut bahwa selama pasien dalam keadaan sadar dan bisa berkomunikasi, maka persetujuan harus diperoleh langsung dari pasien. Sulit penulis bayangkan, dalam keadaan menahan sakit, dan posisi berbaring, akan bisa melakukan tanda tangan secara sempurna.
Para dokter menjadi khawatir sekarang. Saat ini, form informed consent terbagi menjadi 2 bagian. Pertama tetang pemberian penjelasan. Kedua tentang persetujuan maupun penolakan tindakan. Pada kedua bagian, disertakan tanda tangan yang memberikan persetujuan, maupun 2 orang saksi. Bagaimana agar menjadi benar dan tidak berisiko? Mohon kiranya para pakar hukum berkenan memberikan penjelasan seperti apa cara yang memenuhi standar, agar ke depan tidak perlu lagi dituding melakukan pemalsuan tanda tangan surat persetujuan. Apakah harus seperti persetujuan akad kredit yang berlembar-lembar dengan tulisan huruf kecil-kecil, ditempel materai, dan setiap halaman diberi paraf/tanda tangan?
Terkait dengan upaya mediasi, maupun penggantian kerugian, sudah banyak dibahas pada artikel oleh Agung Pambudi, seorang Advokat (Solopos, 30/11/2013). Disebutkan di sana bahwa bila terbukti terjadi suatu kelalaian, maka memang tidak ada unsur pidana. Penyelesaiannya melalui Peradilan Khusus Sengketa Medis. Dengan demikian, diperoleh putusan yang berkeadilan bagi semua pihak.
Tentu saja dalam hal ini, penilaian terhadap terjadinya kelalaian dokter adalah oleh MKDKI sesuai amanat UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Hal ini adalah mekanisme yang wajar dalam banyak organisasi profesi. Barangkali sama dengan kritik terhadap kasus dimana pilot dipersalahkan pada kasus kecelakaan pesawat. Atau juga kurang lebih ini sama dengan dengan mekanisme di kalangan pewarta bahwa “Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers” (www.dewanpers.or.id). Penulis, maaf, tidak mendapatkan penjelasan pasti untuk kasus seperti pada Dr Ayu ini, apakah juga ada mekanisme penilaian serupa terhadap hakim di PN Manado yang sesuai naskah keputusan MA dianggap melakukan kesalahan penerapan hukum.
Satu hal yang pasti, komunikasi antara dokter dan pasien, telah lama menjadi perenungan kita. Relasi dokter pasien, sebagaimana digambarkan Dr Prastyadi Mawardi (Solopos, 27/11/2013) memang menyimpan “gunung es” masalah, walaupun sangat mungkin bukan dimaksudkan sebagai malpraktik. Bahkan akhir-akhir ini seolah meluas menjadi antara dokter dengan aparat penegak hukum, maupun dokter dengan awak media. Suatu kondisi yang jelas sangat merugikan bagi kedua pihak, maupun bagi masyarakat.
Penulis sendiri menggambarkan hubungan itu sebagai “benci tapi rindu”. Sebenarnya saling membutuhkan, tetapi juga terkesan saling curiga. Kondisi itu berkepanjangan, sehingga makin jauh jaraknya. Akibatnya, pasal-pasal regulasi yang memang harus kaku itu, diterjemahkan menjadi semakin kaku karena ketegangan hubungan antar para pihak. Semoga kasus dr Ayu dkk ini membuka mata kita bersama. Banyak masalah dalam hal kedokteran dan pelayanan kesehatan, yang akan makin merenggakan hubungan kalau tidak justru diungkap agar diketahui dan diperjuangkan bersama.
Bila itu tidak bisa kita perbaiki dan kawal bersama, entahlah, mau dibawa kemana hubungan kita?