“Tes Keperawanan” Siswi SMA: Respek dan Kasihan

Assalamu’alaikum wr wb.

Sekira 2 hari terakhir ini, kita diributkan dengan berita dari Dinas Pendidikan sebuah Pemda di Sumatera Selatan . Dinas tersebut berencana memberlakukan aturan “tes keperawanan” terhadap siswa SMA. Menanggapi rencana tersebut, selayaknya kita tanggapi secara jernih. Bagi saya ada 2 hal: respek dan kasihan.

Saya respek karena ini menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap risiko negatif pergaulan remaja. Kemudahan teknologi, menurunnya nilai-nilai, lebih sulitnya rentang kontrol orang tua, memang menempatkan anak-anak kita di risiko lebih tinggi. Saya kira kita sepakat dalam hal ini. Tentu saja, keperawanan bukan parameter satu-satunya, namun ini adalah wujud kekhawatiran atas “risiko” yang tertinggi – minimal termasuk yang tertinggi – dibandingkan akibat negatif lain dari pergaulan jaman sekarang.

Tapi saya kasihan, karena beliau-beliau ini barangkali memiliki keterbatasan sumber daya dan kreativitas untuk mewujudkan kekhawatirannya itu melalui metode yang tepat. Menguji keperawanan hanya bagian kecil, tanpa berarti menganggap tidak penting. Banyak bentuk-bentuk lain yang juga sama-sama merugikan sebagai akibat dari pergaulan era sekarang: penyalahgunaan obat terlarang (NAPZA), penyakit menular seksual – dengan atau tanpa harus diikuti penetrasi yang merusak selaput dara, menurunnya prestasi belajar, kurangnya ibadah – sebagai wujud beragama yang bisa dilihat orang lain karena tidak mudah menilai yang dalam hati, terjadinya depresi karena hambatan dalam bergaul yang menuntut adaptasi dan ketahanan tinggi, dan masih banyak lagi. Ujung-ujungnya – selain soal seks bebas – juga rentan terjerat dalam tindak kriminal, bullying antar sebaya sampai nasfu konsumerisme yang tidak sanggup dipenuhi.

Tentu saja, banyak hal itu tidak sera merta tergambarkan dari “tes keperawanan”. Karenanya ini bukan kebijakan yang “bijak” memang. Tetapi tergesa-gesa menuding kebijakan itu secara negatif, juga sama-sama tidak bijak. Mari kita besama-sama “kasihan” kepada beliau dengan memberikan arahan, usulan, bahkan tawaran kongkrit untuk memberi jalan pada kepedulian beliau terhadap anak-anak muridnya itu. Pendidikan kesehatan reproduksi misalnya, atau pendekatan intensif terhadap ancaman NAPZA, atau pendampingan dalam bentuk menyalurkan energi mereka ke hal-hal yang positif. Khusus yang bersifat “tes”, barangkali kita usulkan tes narkoba secara random, tes VDRL (untuk sifilis – ingat ini bisa pada laki-laki maupun perempuan), dan bisa juga “tes kehamilan”. Ini masih lebih rasional, dan relatif bisa diterima, daripada “tes keperawanan”.

Pembahasan akan lebih membuat “kikuk” kalau kemudian kita dihadapkan pada kenyataan: sudah terlanjur hamil, apakah harus dikeluarkan? Bisa juga pada kasus mejadi tahanan atau narapidana karena kasus kriminal. Atau misalnya terbukti terkena penyakit Menular Seksual. Ini pembahasan tersendiri lagi, tetapi tetap harus kita bahas.

Kita tidak sepakat menghakimi para siswa dan siswi sebagai “nakal”, tetapi mohon juga jangan tergesa-gesa menghakimi para guru dan pendidik itu sebagai “jahat”.

Mangga. Wassalam.