Obat generik, obat bermerk, obat paten … (1)
Ada berita menarik bahwa harga obat generik bermerk akan turun mulai 1 Juli 2006. Diharapkan harga obat akan makin terjangkau. Tetapi pernah bingung nggak, apa sih bedanya? Ada obat generik, obat bermerk, obat paten, obat keras …. Mari coba kita pelajar bersama-sama.
Obat dibuat dari bahan-bahan tertentu, yang setelah diteliti sekian lama, ditemukan “zat inti berkhasiat terapetik”. Zat ini yang secara umum disebut “generik“. Setelah disetujui oleh otoritas kesehatan, dari bahan generik ini, bisa dibuat “obat generik“.
Tetapi kan untuk penelitian butuh dana besar sekali, waktu lama bertahun-tahun wong sebenarnya standar etikanya berat sekali. Karena itu, perusahaan yang menemukannya mendapatkan hak paten selama 20 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, tidak boleh ada
perusahaan lain yang memproduksi obat dari bahan generik yang sama. Karena itu, obat-obat temuan baru atau yang relatif baru, masih dalam masa paten, belum ada produksi “obat generik”nya. Yang beredar adalah merk dagang dari perusahaan pemegang paten.
Misalnya, obat-obat terapi untuk pengelolaan kadar lipid darah atau hipertensi dengan gangguan jantung/ginjal (golongan statin), banyak dimunculkan bahan generik baru. Akibatnya, relatif sukar ditemukan produk obat generiknya. Begitu juga obat untuk gangguan lambung dan saluran cerna, dari semula kita kenal sekali “antacid”, sekarang sudah banyak ragamnya (artinya bahan generiknya sudah bukan hanya antacid lagi).
Yang kadang salah kaprah, kita suka bilang: ini obat paten. Sebenarnya, yang ada di pasaran itu hanya obat bermerk dagang atau obat generik. Istilah “paten” itu hanya soal hak paten seperti penjelasan sebelumnya. Yang sering salah disebut “obat paten” adalah produk MNC (Multi National Company). Sebenarnya tidak semua obat yang dipasarkan oleh orang bule
itu masih dalam kerangka paten. Jadi itu merk dagangnya saja.
(Sayang memang, kita masih harus bersedih bahwa hampir semua obat yang ada di pasaran, bahan baku atau malah build-up product-nya masih harus diimpor. Mari sama-sama kita doakan ada dokter yang jadi Presiden – kalau Doktor kan sudah – biar yang begini segera dapat perhatian ya).
Kalau masa paten sudah terlewati, maka semua perusahaan boleh memproduksi obat dari bahan generik tersebut, dengan berbagai teknik produksi maupun pengemasan, jadilah obat bermerk dagang. Jumlah merk dagang dari satu jenis bahan generik, bisa bermacam-macam, bisa sampai puluhan bahkan ratusan.
Namanya usaha dagang, ya tentu harus ada margin of interest kan. Karena itu, produksi generik sebenarnya tanggung jawab pemerintah, melalui BUMN. Obat generik ini bisa dipasarkan dalam bentuk tanpa bungkus/kemasan/logo, seperti beberapa yang kita lihat di RS/puskesmas. Bisa juga dalam kemasan dari BUMN (perusahaan ini juga bisa memproduksi
merk dagang).
Jadi, kalau sampai kita tidak bisa mendapatkan obat generik, itu alasannya 2:
1. Memang masih dalam masa paten, belum bisa diproduksi.
2. Pemerintah belum sanggup menyediakan
(alasan ketiga yang tidak boleh terjadi: apotik tidak punya stock).
Tetapi sebenarnya perusahaan swasta juga bisa ikut memproduksi kemasan obat generik. Biasanya adalah obat-obat yang sering digunakan pada kasus-kasus kesehatan sehari-hari (kelompok ini sering disebut obat essensial). Tentu dalam hal ini ada perhitungan bisnis tersendiri, termasuk melihat tren perkembangan pola penyakit.
Bisa juga ada kondisi khusus seperti terjadinya wabah global, bisa saja perusahaan farmasi besar ikut serta membuat produksi massal obat generik (yah itung-itung kan bagian dari Corporate Social Responsibility).
Produksi obat generik dari perusahaan swasta ini diberi tanda logo/nama perusahaan swasta pembuatnya, “obat generik berlogo” atau “obat generik bermerk”. Nah, kelompok inilah yang berita tersebut akan turun harganya mulai 1 Juli 2006 nanti.
(Dari adanya dwi-produksi ini, ada suara bahwa perusahaan farmasi kadang harus main subsidi silang, agar obat generik tetap murah, meskipun risikonya obat bermerk jadi mahal. Saya tidak bisa mengkonfirmasi, karena tidak cukup pengalaman di bidang ini).
Kita belajar saja yang sering kita temui sehari-hari.
Contoh obat generik yang sering kita lihat: paracetamol, gliserilguaiakolat, dekstrometorfan, difenhidramin, chlorpheniramin maleat, amoksisilin, eritromisin, gentamisin, dan banyak lagi (Jangan-jangan malah terasa begitu asing ya di telinga kita?).
Di pasaran, di samping produk generik, dari bahan generik ini dijual sebagai merk dagang dengan berbagai nama pula. amoksisilin misalnya, katanya lebih dari 100 merk dagang yang ada. Pasti malah lebih sering mendengar merk: Amoxan, Abdimox, Amoxil, Bellamox, Dexymox, Ethimox, Farmoxyl, …
Pertanyaannya, kalau sudah lepas paten, sudah ada produk generiknya, mengapa masih ada merk dagang? Ada beberapa hal, dalam pandangan saya:
Soal cari untung, saya nggak komentar, wong rejeki orang kok diutak-utik, pamali katanya kan hehehe …
Ilmu pengetahuan terus berkembang, sekarang pun usaha menemukan obat baru tetap berjalan. Inti temuan baru bisa benar-benar baru, atau memperbaiki yang sudah ada. Yang benar-benar baru mungkin lebih mudah dipahami. Kita bahas yang bertujuan memperbaiki yang sudah ada.
Contoh yang gampang, kita sudah mengenal sekali CTM (chlorpheniramine maleat), sebagai anti-histamin pada terapi reaksi alergi. Obat ini memiliki efek samping “sedasi” (menimbulkan kantuk). Efek sedasi ini merugikan bagi kualitas hidup penggunanya, sekaligus sering disalah gunakan.
Ilmu pengetahuan mengembangkan anti-histamin generasi kedua, salah satunya adalah cetirizine hydrochloride, dengan efek sedasi minimal dibandingkan CTM (ini salah satu keuntungannya saja, dibandingkan CTM).
Karena relatif masih baru, setahu saya, belum ada produk generiknya (masih dalam masa paten, mungkin hampir/baru saja berakhir). Merk dagangnya untuk pasar Indonesia adalah Ryzen dan Riztec (di negara lain beda-beda merk dagang ini). Di samping tentu menemukan
obat generasi baru itu lebih sulit, karena harus punya beberapa kelebihan dibandingkan obat yang sudah ada. Kalau nggak, ya ngapain pakai obat jenis baru, iya to?
Karena itu, kalau untuk suatu kondisi dokter merekomendasikan pemberian Ryzen, jangan tergesa-gesa menilai “gimana sih dokternya, kan ada CTM yang murah”. Mungkin ada pertimbangan lain, dan itu yang sebaiknya kita tahu. Caranya, ya tanya-ken apa?
Di samping temuan baru, bisa juga merk dagang menambahkan kombinasi zat lain untuk memperkuat kerja “bahan generik”nya. Contoh yang gampang, di puskesmas ada ergotamine tartrate untuk terapi migrain (jangan salah dimengerti, obat ini tidak hanya untuk migrain). Pada merk dagangnya ditambahkan caffeine dosis tertentu, untuk memperkuat kerja dari
ergotamine tartrate tersebut. Ada juga obat lain, yang produk merk dagangnya menambahkan zat tertentu agar absorbsinya di saluran cerna lebih maksimal.
(Soal cerita pernak-pernik dibalik caffeine ini juga menarik, tetapi kayaknya rada rumit, malah bikin pusing mungkin ya.)
Ada juga pertimbangan merk dagang untuk memperbaiki kinerja melalui perubahan kemasan obat. Misalnya, pada obat generiknya berbentuk kaplet lepasan tanpa bungkus (tablet berbentuk seperti kapsul). Pada generik berlogo, dibungkus dan ditambahkan salut enterik (mencegah penghancuran oleh asam lambung). Pada merk dagangnya, dibuat sebagai kapsul
bergranul, di samping mencegah penghancuran oleh asam lambung, juga bertujuan pelepasannya lebih merata.
Ada juga yang makin banyak, merk dagang mengemas untuk maksud “SR” (slow-release, atau extended release) agar obat dilepaskan perlahan-lahan. Tujuannya, misalnya cukup minum sekali sehari, tetapi efektifitas bertahan 24 jam. Ini membantu bagi penderita penyakit kronis. Contoh saja, diltiazem hydrochloride obat hipertensi, merk dagangnya dikemas sebagai Herbesser SR (sekedar contoh saja).
Ada juga pertimbangan untuk memperbaiki tingkat keberhasilan pemberian. Dalam hal anak-anak, misalnya obat anti-piretik generik berbentuk sirup dari bahan sirup dasar (syrup simpleks). Pada merk dagangnya, bisa dikemas sebagai syrup berasa buah, beraroma jeruk, agar anak-anak lebih mau minum. Ada juga yang mengemas sebagai drop agar lebih mudah
diberikan dan takarannya lebih terukur (daripada petunjuk “bayi 2-4 bulan 2,5 ml atau setengah sendok teh” misalnya. Ini sekedar contoh lho ya, jangan dipakai pegangan).
Contoh lain, ada bahan generik untuk diteteskan di hidung guna mengencerkan ingus. Obat generiknya berbentuk cairan biasa, sedang merk dagangnya dibuat dalam bentuk drop agar lebih mudah diberikan, tidak merepotkan penggunanya. Contoh lagi, obat tetes mata generik, dalam kemasan satu botol untuk dipakai berulang. Sedang merk dagangnya bisa dibuat dalam kemasan sekali pakai, untuk meminimalkan risiko kontaminasi dan perubahan isi cairan. Contoh-contoh tersebut, adalah yang sehari-hari kita temui. Sedangkan di lapangan klinik di RS, masih banyak contoh-contoh lain, namun kurang kita kenal sehari-hari.
Termasuk dalam hal ini menjawab mengapa kita masih suka mendapatkan puyer? Alasan utamanya adalah kemudahan pemberian. Memang, seharusnya semua obat diminum sesuai kemasan aslinya. Namun, memang sebagian obat terutama obat generik masih dalam kemasan dasar, seperti tablet, kaplet, di samping yang sudah berbentuk sirup dasar.
(Jadi ingat. Bahaya pertama pemberian puyer adalah risiko polifarmasinya, baru bicara soal kenapa bentuknya puyer. Yang lebih penting, kita tahu apa isi puyernya, sehingga bisa memutuskan penggunaannya. Caranya, tanya-ken apa?).
Beberapa poin agar tidak salah mencari pegangan:
1. Betul sekali, bila memang memungkinkan, mengapa tidak menggunakan obat generik? Toh, zat inti terapetiknya sama. Sebaliknya, mohon juga jangan tergesa-gesa untuk menilai buruk dokternya, bila memberikan rekomendasi obat merk dagang. Yang penting, tanyakan alasannya, bila memang kita belum tahu. Setelah tahu alasannya, kita akan lebih mudah mengkonfirmasikannya, sebelum menilai “what kind of doctor he/she is” (tulus atau sekedar ngejar fulus).
2. Dengan mengetahui apa alasannya, kita akan makin mantap memutuskan: yakin menggunakan obat generik atau terpaksa menggunakan merk dagang. Yang sekarang menggunakan merk dagang, coba tanyakan termasuk pada diri sendiri, apa sih alasannya? Kalau memang alasan itu valid dan reasonable, ya tidak perlu malu atau merasa gagal. Sebaliknya kalau ternyata pakai merk dagang sekedar karena belum tahu, ya nggak masalah,
tinggal ganti strategi ganti obat generik, wong sekarang sudah tahu.
3. Agar kelihatan lebih “mantep”, kita pakai istilah yang lebih pas. Apalagi kalau ngomong sama dokter, jadi kan dokternya makin yakin “oh, pasien gue satu ini makin pinter aje, belajar di mana sih”.
Catatan: ketika membahas suatu obat/bahan obat generik, etika penulisannya dengan huruf kecil bila di tengah kalimat dan tidak menyebut merk dagangnya. Penyebutan merk dagang, diawali huruf kapital, dilakukan untuk pembahasan khusus tentang obat tersebut sebagai informasi.
Selanjutnya kita akan belajar apa sih obat bebas, obat keras? Mari tarik nafas dulu …. Nanti saking asyiknya lupa …