Pukulan ke 100 itu …
Beberapa waktu lalu, ada pelajaran sangat berharga yang saya dapatkan. Secara mendadak, malam-malam, ada perintah dari pucuk pimpinan untuk suatu tugas tertentu. Tugas ini sebenarnya bagian final atau tahap akhir dari suatu proses panjang. Ada sebuah tim yang mengikuti proses panjang itu. Sementara saya sendiri tidak tahu menahu proses panjang itu karena sama sekali tidak terlibat. Karena sesuatu hal, malam itu saya ditugaskan untuk segera bergabung pada pagi harinya.
Awalnya, bayangan tugas itu relatif tidak sulit. Saya diminta menemani delegasi tamu dari sebuah lembaga keuangan internasional. Delegasi itu bertujuan melakukan visitasi untuk penilaian (appraisal) proposal kredit lunak. Bayangan yang saya tangkap, saya bertugas mulai dari menjemput, menemani sepanjang hari sampai malam, begitu terus sampai tamunya pulang. Sepanjang waktu itu, tugas saya menjawab hal-hal ringan – artinya tidak terkait langsung dengan pokok masalah. Misalnya sekedar ucapan salam, cerita ringan seputar kota Solo, mencari tahu keinginan mereka tentang agenda kerja, ingin makan dimana dan sejenisnya. Sedangkan saat tamu bertemu dengan tim tuan rumah, tugas saya sebagai penerjemah. Pendek kata, tugas saya adalah sebagai translator bagi tamu tersebut.
Yang terjadi kemudian, situasi begitu dinamis. Ternyata, sebelumnya telah terjadi “masalah” sehingga proses di tahap final itu hampir terhenti. Karena itu, datanglah delegasi tersebut langsung ke lapangan. Pada perkembangannya, saya mendapat tugas untuk menyampaikan presentasi. Masalahnya, pengetahuan saya tentang materi presentasi itu sendiri hampir nol. Bingung kan?
Jadilah kemudian saya terlibat diskusi dalam waktu mepet, hanya sehari, padahal proses sebelumnya sudah begitu panjang. Malamnya, saya berjaga untuk mencoba memahami benang merah masalah. Kemudian menuangkannya ke dalam presentasi. Tentu saja, saya lakukan perubahan tampilan isi presentasi, agar saya sendiri tidak kebingungan membacanya. Juga – harapan saya – presentasi bisa concise, precise but convincing. Karena yang diharapkan, presentasi ini dapat “memperbaiki” masalah yang sempat timbul pada kesempatan sebelumnya. Berarti, saya sudah masuk ke tingkatan tugas sebagai “Interpreter”. Waduh!
Tibalah saatnya, sehari kemudian. Tamu datang, penjemputan dilakukan. Baru saja bertemu, langsung delegasi itu secara affirmatif “menegaskan” agar “… jangan mengulang kesalahan kemarin di Jakarta ya, karena kalau hanya begitu, untuk apa kami datang ke sini”. Waduh!
Acara makan siang berlangsung, dan tibalah saatnya harus menyampaikan presentasi. Sampai di sini, saya masih agak tenang. Harapannya, saya hanya bertugas sebagai interpreter. Artinya, saya berusaha menerjemahkan konsep yang sudah tersusun, ke dalam bahasa Inggris, sedemikian sehingga bisa dipahami oleh delegasi asing tersebut.Masalah selanjutnya, Tim Tuan Rumah yang akan menjawab, dan saya sebatas interpreter.
Dari rencana awal hanya 5-10 menit, ternyata selama sekitar 45 menit, presentasi itu harus saya sampaikan. Penyebabnya, presentasi diselingi banyak interupsi dari delegasi asing. Pertanyaan mereka sangat menohok, menukik. Gelagapan saya dibuatnya. Saya tebarkan pandangan saya, memohon bantuan dari semua Tim Tuan Rumah. Namun, situasi mungkin memang sedang tidak mudah. Ada ketegangan dan kegelisahan di sana. Bayangan keberhasilan dan risiko kegagalan begitu tipis jaraknya. Jadilah pilihan teraman adalah menahan diri daripada salah menjawab. Akibatnya, terhadap hampir semua pertanyaan, memaksa saya untuk menjawab.
Beban yang saya rasakan bertambah, karena tingkatannya sudah sebagai “Negotiator”. Berkeringat itu sudah jelas. Gelagapan bingung, itu juga jelas. Dan yang paling berat: saya takut sekali bila sampai terpeleset memberikan jawaban yang salah atau tanpa sadar menjadi “over the limit”. Akhirnya, saya berusaha begerak sejauh yang saya bisa tetapi selalu berhenti pada satu titik, untuk kemudian saya katakan “I can elucidate more detail in this issue, since I am not in the position to address. It needs far higher than my position to answer that question. But let me assure you that by being here our top managers deeply concern to express our strong commitment”.
Selanjutnya, proses perjuangan itu berlanjut di Jakarta. Diskusi dinamis, pendekatan informal, lobby saat makan …. Pokoknya all out. Dan …. Singkat cerita, dengan segala perjuangan dan dukungan dari semua tim, satu tahapan perjuangan berhasil. “Masalah” yang sempat timbul, akhirnya bisa teratasi.
Sampailah saya pada satu tahapan: banyak yang memberi ucapan selamat, tetapi ada juga yang menunjukkan impresi tidak nyaman dengan keberadaan dan apa yang telah saya lakukan.
Untuk kedua hal itu, saya jawab dengan sebuah amsal. Al kisah, seorang pemecah batu, berhasil memecahkan sebuah batu besar pada pukulan ke 100. Sebenarnya, bukan pukulan terakhir itu yang memecahkannya. Tetapi, 99 pukulan sebelumnyalah yang telah memecahkannya. Pukulan ke 100 itu hanya menggenapinya saja, agar batu itu pecah sempurna.
Apapun adanya, saya hanya ikut pada menit-menit terakhir. Saya tahu diri dan saya sadar situasi. Kalaupun akhirnya proses itu berakhir indah – paling tidak sejau hini – maka peranan saya sebenarnya hanya 1% itu saja. Tidak lebih. Persis pukulan ke 100 itu. Sebaliknya, kalau sampai saya salah menjawab, kemudian terjadi kegagalan, maka kekecewaan akan proses panjang itu akan tertumpu pada saya. Bagai meniti ombak, merayap di dinding jurang, penuh risiko.
Apapun adanya, tidak ada niatan saya untuk menjadi “pahlawan kesiangan”. Keterlibatan saya hanya karena diberi tugas. Sebelum itu, saya tidak pernah menyodorkan diri untuk terlibat. Saya juga tidak pernah berusaha mencari tahu proses panjang tersebut. Banyak pihak yang sangat berperan pada keberhasilan proses panjang itu. Kepada merekalah penghargaan itu harus disematkan.
Apalagi, proses perjuangan itu masih panjang. Masih banyak hal yang harus dihadapi, digeluti dan diselesaikan. Saya berterima kasih, telah diberi kesempatan untuk turut bersama-sama berjuang di menit-menit terakhir babak ini. Saya mohon maaf, bila masih banyak kekurangan, kesalahan dan hal-hal yang tidak berkenan. Semoga perjalanan perjuangan ini akan membuahkan hasil yang manis.
Semoga, Amin.