Dokter, pasien dan rekam medis

Pertama dan utama, jelas saya sangat mendukung soal hak pasien terhadap isi rekam medis.  Namun demikian, bagi saya soal ini memang tidak sederhana, sensitif dan rentan menjadi tidak-produktif.

Sejak jadi dokter muda, kemudian lulus dokter, jadi dosen muda, maka setiap kali ada yang sedang dirawat di RS, baik keluarga, teman, kenalan, saudara jauh, tetangga atau tetangganya Bapak di desa, saya sering di-jawil (diminta bantuannya). Selanjutnya saya hampir selalu ke RS, melihat kondisinya, dan – ini yang paling tricky – berusaha melihat medical-recordnya.

Di banyak kesempatan, hal itu seolah bukan hal yang istimewa. Para perawat, dokter senior maupun dokter umum yang jaga di RS, kebetulan banyak kenal. Kadang tanpa diminta pun mereka mempersilakan, meskipun saya tetap selalu lebih dahulu memperkenalkan diri apa adanya bahwa saya seorang dokter kepada para petugas RS tersebut.

Tidak jarang, kehadiran “dokter kenalan keluarga pasien” ini diambil untungnya oleh dokter yang merawat. “Tulung ya Dik, kamu saja yang menjelaskan ke keluarganya, agar bahasanya lebih enak”, begitu sering terucap.

Masalahnya kemudian saya berpikir, yang saya lakukan ini boleh jadi bermaksud “baik” tetapi tidak dengan cara benar. Boleh jadi juga bisa dianggap “benar” tetapi tidak tepat. Bener nanging ora pener.

Sebenarnyalah secara yuridis saya tidak berhak membuka/mengetahui medical-record mereka, itu hak pasien dan/atau keluarga terdekatnya yang memiliki kuasa. Saya bisa membuka/mengetahui bila :

1. Pasien/keluarga memberikan kuasa kepada saya secara tertulis
2. Saya adalah bagian dari Tim dokter yang merawat pasien tersebut, atau mendapatkan kuasa dari dokter/RS yang merawatnya untuk suatu tujuan tertentu yang rasional dan layak dipertanggung jawabkan (termasuk untuk urusan pendidikan, penelitian dan kepentingan managerial RS).
3. Karena perintah pengadilan, saya ditugasi menjadi saksi ahli misalnya.

Apa yang ingin saya katakan ? Sesungguhnyalah inti dari semua itu adalah “kepercayaan”.

Ketika saya pulang liburan kemarin, ternyata “membuka” medical-record itu tidak lagi semudah itu saya lakukan, kecuali ketika saya melakukannya bersama-sama dengan dokter yang merawatnya (dokter senior atau residen). Atau kadang masih bisa membuka sendiri asal di RS negeri dimana saya pernah sekolah dan bekerja.

Mengapa ? Di RS sekarang dokter makin banyak, tidak bisa lagi mengandalkan model “dulu” bahwa sesama dokter, sesama perawat saling kenal. Karena saling kenal, kemudian saling percaya. Dengan demikian, membuka medical record diterima sebagai kewajaran saja dengan saling menjaga kepercayaan.

Tetapi yang lebih esensial adalah, low-trust society yang sedang menghinggapi kita. Pendulum seolah-olah bergeser balik. Kalau dulu menganggap dokter adalah “dewa”, tetapi kemudian seolah-olah dokter “harus selalu diawasi, bila perlu dicurigai”. Sebaliknya pula, kalangan medis dihinggapi kekhawatiran soal tuntutan malpraktek, sehingga cenderung menutup diri dan mempersiapkan proteksi terhadap segala kemungkinan.

Berimbaslah ke soal “medical-record”. Yang saya rasakan di Solo, RS menjadi lebih “protektif” terhadap medical record. Tidak sembarang orang luar – meski dia dokter sekalipun – diijinkan membuka. Langkah yang kadang dipakai, bila memang yang bertanya itu adalah dokter, dianjurkan untuk diskusi dengan dokter jaga yang sedang bertugas/dokter bangsal (biasanya dokter umum, bukan spesialis yg langsung menangani pasien). Jangan salah dibaca, bahwa “menjelaskan kondisi pasien adalah kewajiban dokter” itu jelas benar dan berlaku. Ini kita bicara dari sisi membuka rekam medis oleh “orang luar”.

Masalah yang lebih luas, bagaimana kalau kita balik ? Beberapa kali di media ada berita, “pasien menggugat” dan menceritakan apa-apa yang telah dijalaninya di RS, seringkali dengan menunjukkan foto-copy dari isi rekam medis. Apakah berarti dokter juga boleh sebaliknya membuka di media “apa-apa yang ditemukan pada pemeriksaan dan tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien” ? Bukankah dokter berkewajiban menyimpan rahasia pasien, bahkan meskipun pasien sudah meninggal ?

Pada akhirnya, saya ingin mengajak. Hubungan dokter-pasien adalah soal “saling percaya”. Dokter tidak boleh sembarangan menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan pasien. Sebaliknya, pasien juga tidak selayaknya mengedepankan pikiran curiga terhadap apa-apa yang dilakukan dokternya. Mari kita gunakan hak kita atas rekam medis ini – baik bagi dokter maupun pasiennya – untuk sebesar-besar keuntungan pasien.

Jangan sampai rekam medis seolah-olah berubah fungsi menjadi “tameng” bagi dokternya, dan “senjata” bagi pasiennya. Dan muara dari itu semua adalah : kesehatan pasien, jauh lebih besar daripada sekedar “menghindari malpraktek”.

Menjadi “smart patient” bagi saya lebih pada kualitas berbagi informasi dan keputusan, bukan pada kemampuannya “mengawasi dan menilai” kinerja dokter.