Tentang Nadine, Miss Indonesia …
Sebenarnya pengin kemarin-kemarin nulis ini, tapi nggak sempat juga. Kita tahu kemarin sempat ramai soal video wawancara Nadine. Di rekaman itu, terlihat memang bahasa Inggris Miss Indonesia ini ada kekurangan.
Selanjutnya banyak kritik bermunculan, sebaliknya banyak juga yang “membela”nya: kan grogi, kan dia berani maju, kan yang ngritik juga nggak lebih baik. Sampai-sampai kemarin di kompas online ada yang menulis: “Tanya diri Anda, apakah Anda cantik, ganteng, pintar, kaya, bisa ini, bisa itu. Kalau salah satu saja tak terpenuhi, mbok mulutnya dibungkam saja”.
Hmm, tulisan itu jadinya lucu menurut saya. Ingin mengritik para pengritik Nadine, tetapi sebaliknya menggunakan pola yang sama dengan yang ingin dikritiknya.
Saya ingat, setiap kali ada pertandingan bulutangkis All England, Thomas atau Sudirman, Bapak saya paling semangat menyaksikan. Sering terjadi Bapak teriak keras sambil gebrak meja (sekedar contoh): “Gimana sih Taufik ini, sudah menang set pertama kok terus lemes, nyerah gitu, harus semangat dong! Sudah ganti saja dengan yang lain”.
Yang seperti Bapak begini saya yakin nggak sedikit. Padahal, dari sekian ribu orang yang seperti Bapak saya itu, saya yakin 99,99% tidak ada yang bisa bermain bulutangkis lebih baik daripada Taufik. Berarti mereka nggak boleh “neriakin” Taufik?
Saya ambil contoh Taufik agar sekalian ekstrem. Soalnya, boleh jadi ada yang bilang: sebenarnya mencari yang cantik, postur tubuh dan ke-bule-bule-an seperti Nadine sih nggak sulit juga. Karena itu, apa nggak boleh “neriakin” Nadine?
Sebenarnya dibalik teriakan kecewa itu, ada kata-kata tersembunyi: “nggak rela kalau Indonesia dibela dengan penampilan seperti itu”. Bukan mereka merasa lebih baik, lebih pinter, tetapi itu ekspresi kecintaan dan kepedulian mereka terhadap nama Indonesia.
Lebih dari itu, dalam diri kita masing-masing, sebenarnya tersimpan juga potensi “diteriakin” seperti itu. Contoh yang gampang, saya sendiri saja.
Sekarang saya sedang di negeri orang. Saya datang sebagai pribadi, tidak dalam kibaran “…. Indonesia” misalnya. Bahwa saya selengekan misalnya, itu tidak lantas berarti orang Indonesia itu seenaknya sendiri. Tetapi mau nggak mau saya harus terima, harus sadar, bahwa penilaian seperti itu bisa muncul kalau saya tidak mau tertib antri saat mau bayar belanjaan di kasir.
Sebaliknya, hanya karena saya rada-rada lancar ngomong pakai bahasa Inggris, orang-orang di sekeliling saya suka komentar “Wah, orang Indonesia pinter ya berbahasa Inggris, nggak seperti kita orang Jepang”. Padahal kita tahu sendiri, tidak demikian kenyataannya.
Itu baru “sekelas” saya. Kalau kelasnya Nadine yang Miss Indonesia, tentu sangat jauh bedanya. Memang, beban di pundaknya berat, tetapi lebih dari itu, dia juga bisa membawa penilaian positif tentang Indonesia dengan dampak jauh lebih besar daripada yang bisa saya lakukan.
Jadi, kalau Nadine dikritik habis-habisan gara-gara wawancara bahasa Inggris tersebut, sudah biasa, sudah sewajarnya. Dan kita tidak perlu terburu-buru berapologi: kan dia grogi di even internasional, kan memang bahasa Inggris bukan bahasa kita, kan toh dia punya banyak kelebihan lain dan banyak lagi.
Kalau mikir beban, Presiden Republik Indonesia itu lebih berat lagi bebannya. Apakah lantas dia juga boleh seenaknya berapologi?
Yang saya sepakati dari kritik atas kritikan terhadap Nadine, begini ceritanya. Kalau kita yang “orang biasa”, tentu lebih mudah mengkritik Taufik. Tetapi bagi pemain bulutangkis, pasti lebih menahan diri untuk berkomentar. Karena itu, mari kita sampaikan kritik itu dengan kemasan yang lebih renyah.
Bagi saya sendiri, penampilan Nadine pada wawancara tersebut menunjukkan dia dan tim pendukungnya tidak membuat persiapan yang cukup. Pertanyaan pada wawancara itu sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, video wawancara Artika juga kita lihat. Karena itu, seharusnyalah mereka bisa membuat persiapan yang matang. Dan kekecewaan karena persiapan tidak matang padahal membawa nama Indonesia inilah yang sebenarnya memicu kritik banyak pihak.
Terakhir saya baca dalam sesi wawancara dengan juri, akhirnya Nadine menggunakan jasa penerjemah (orang Indonesia juga yang lama tinggal di California). Saya kira langkah ini justru lebih baik, daripada mengulangi kesalahan sebelumnya. Bahwa mau tidak mau harus diakui bahwa itu menunjukkan satu kekurangan, tetapi masih lebih baik daripada harus menunjukkannya karena memaksa diri tampil kurang persiapan.
Kembali ke Bapak saya. Meski seberapapun kecewanya, setelah menggebrak meja, Bapak saya akan tetap setia di depan televisi, setia mengamati jalannya pertandingan sampai menit terakhir, bahkan ketika Indonesia harus benar-benar kalah sekalipun. Tangannya tetap saling menggenggam erat, mulutnya tetap komat-kamit berdoa: semoga Indonesia tetap menang.
Dan ketika dengan susah payah Indonesia akhirnya berhasil menang, Bapak saya akan berdiri tegak sambil berlinang air mata saat Indonesia Raya diperdengarkan.
Hal itulah yang saya merasa belum ada apa-apanya dibandingkan Bapak saya (dan kemungkinan juga banyak para pengritik lainnya): rasa cintanya terhadap Indonesia!
Semoga Nadine tampil maksimal demi nama Indonesia.