Bekam dan kedokteran
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat “tugas” mengisi kultum setelah sholat Subuh di Perum UNS Jati. Saya sebut “tugas” karena bagi saya, itu cara para senior – keimanan, usia, ilmu maupun yang lain – untuk memaksa saya belajar. Semalaman saya bingung akan mengisi apa. Ini merupakan tugas ke 3 saya mengisi kultum. Yang pertama dulu, pas Ramadhan, saya isi soal manfaat sholat dari sisi kesehatan/kedokteran. Kesempatan kedua, saya pilihkan hasil bacaan dari buku “Matematika Al Qur’an”. Harapannya, materi kultum memiliki core theme yang sejalan – kira-kira – Islam dan Ilmu Pengetahuan. Atau sebenarnya, sebatas kemamapuan saya, di bidang kesehatan/kedokteran.
Setelah bingung dan semakin bingung – maklum cupet sekali ilmunya – saya menemukan topik bekam.Tapi apa hubungannya untuk kultum? Topik ini menarik. Semakin banyak dibuka klinik-klinik bekam. Saya telusuri informasinya di internet, termasuk beberapa rekaman video dan foto pelaksanaan bekam. Dasar yang dipakai adalah dalil agama (Hadist Nabi – sejauh yang saya temukan, mohon dikoreksi).
Nama lain teknik bekam ada beberapa: Hijamah, capping therapy, leach therapy dll. Dari beberapa paparan, prinsip utamanya adalah membersihkan darah dari timbunan kotoran dan darah yang statis. Tempat pengambilannya di beberapa tempat tertentu. Diyakini, pembersihan darah kotor di titik-titik tersebut berhubungan dengan penyembuhan beberapa penyakit – ada yang menyebut sampai 72 macam penyakit.
Terus terang, kening saya berkerut. Teknik bekam dengan dasar pemikiran tersebut, berkembang dalam praktek kedokteran di masa-masa awal perkembangan dulu. Tapi setelah berkembangnya pemamahan antara agent-host-pathogen, konsep penyembuhan bergeser ke penyakit dan agen penyebabnya. Dengan konsep ini, tindakan pembersihan darah dengan mengeluarkannya di satu titik, sulit diterima lagi. Tubuh kita memiliki 4-5 L darah. Bagaimana ini bisa dibersihkan hanya di beberapa titik?
Di beberapa situs saya mendapatkan penjelasan tentang pertanyaan itu. Secara fisiologis, tubuh memiliki organ ginjal untuk melakukan filtrasi darah. Juga organ hati yang melakukan detoksifikasi terhadap toksin yang masuk tubuh. Konsep bekam menjelaskan bahwa bagaimanapun kotoran dalam darah tidak bisa disaring sepenuhnya oleh organ-organ tersebut. Akibatnya terjadi penumpukan kotoran yang – masih menurut konsep tersebut – berada di titik-titik tertentu. Karena itu, diperlukan tindakan pembersihan dengan cara bekam tersebut.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, kedokteran menuntup prinsip logiko-hipotetiko-verifikatif. Konsepnya harus bisa dijelaskan secara logis. Dalam beberapa hal, bekam – bagi saya yang dibesarkan dengan konsep logis tadi – menyisakan banyak ruang yang masih “gelap”. Ruang ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjelaskan. Karena itulah, sulit untuk menerima konsep tersebut.
Situs-situs tentang bekam juga mengkaitkan bekam dengan praktek terapi sejenis yang sekarang masih dipraktekkan. Leach therapy menggunakan lintah disebut-sebut berkonsep sama dengan bekam. Sepanjang yang saya ketahui, lintah memang masih digunakan pada kasus tertentu di bidang operasi mikro (restorasi jaringan tangan, kaki yang hancur, dsb). Lintah digunakan karena ketika menggigit dan menghisap darah, dia mengeluarkan zat yang bersifat anti-koagulan (mencegah pembekuan darah). Adanya cairan tersebut membantu memperlancar aliran darah ke sirkulasi mikro di medan operasi tersebut. Saya kira konsep ini tidak sama dengan konsep bekam.
Saya coba menelusuri kaitan bekam dengan Ibnu Sina, cendekiawan muslim bidang kedokteran, yang bahkan Universitas-universitas terkemuka di Paris pun memajang gambarnya di ruang utama mereka. Sejauh yang bisa menelusuri, ternyata belum saya temukan kaitan Ibnu Sina dengan praktek bekam tersebut. Justru beliau sangat dikenal mempelopori pengembangan konsek-konsep agen dan penyakit.
Sampai di sini saya bingung. Bekam atau Hijamah mendasarkan pada dalil agama. Ilmu kedokteran mendasarkan pada ciri logis (disiplin ilmu). Haruskah saya memilih salah satu dari keduanya. Perenungan saya berhenti pada kesimpulan bahwa keduanya tidak perlu saling dipertentangkan. Yang penting, jangan saling mencela. Tidak perlu memilih bekam dengan melabelkan kata “dokter sudah angkat tangan”. Komunitas dokter pun tidak perlu apriori. Justru seharusnyalah kita saling terbuka. Bukan tidak mungkin, kebersamaan itu akan membuka jalan untuk mengungkap konsep sebenarnya dari bekam tersebut. Kita bisa belajar banyak dari bahasan mengenai topik Obat Herbal terdahulu.
Sementara itu, perkenankan saya sumbang saran. Agar perkembangan bekam lebih produktif, perlu kiranya memperhatikan beberapa hal:
- Penataan diri sebagai sebuah “disiplin” ilmu: standarisasi konsep dasar, badan/lembaga pengemban tugas pengembangan ilmu
- Penataan praktek pelayanan bekam: standar profesi (registrasi, legislasi, syarat kompetensi), standar pelayanan/prosedur standar pelayanan. Seperti yang terlihat di sebuah rekaman di youtube, ada yang mempraktekkan bekam dengan – maaf – silet yang biasa digunakan untuk mencukur kumis. (“Ada” itu artinya saya berharap itu bukan standar praktek umum).
- Usaha pengembangan menuju suatu sistem pendidikan, seperti juga bidang akupuntur yang mulai memantapkan posisinya – meski masih dengan perdebatan – dalam sistem pendidikan kesehatan (sudah ada lembaga pendidikan khusus, ada poliklinik khusus di RS, bahkan mulai diperkenalkan adanya spesialis akupuntur).
- Bersama-sama dengan perkembangan modalitas terapetik sejenis lainnya, pemerintah harus mulai – atau tepatnya kembali harus – memberi perhatian. Jangan sampai ketidak pedulian pemerintah mengawasi dan membina, menempatkan masyarakat – pengguna maupun penyedia jasa layanan terapi tersebut – yang menjadi korban.
Saya mengusulkan itu, justru – dalam bayangan saya – menghindari perkembangan yang kontraproduktif. Sekarang banyak klinik bekam, banyak tawaran kursus bekam dan ada kecenderungan sulitnya beranjak dari pemahaman bekam dengan dasar dalil agama. Masalahnya, seperti standar tempat dan layanan klinik bekam? Siapa yang memiliki otoritas ilmiah untuk memberi kursus bekam? Seperti apa legislasinya? Registrasinya? Syarat kompetensinya? Penjelasan ilmiah yang coba diajukan tentang bekam, juga masih terbatas (sekali lagi, ini dalam kacamata disiplin ilmu). Bila kondisi ini tidak diperhatikan, saya khawatir kita akan seperti jalan di tempat. Padahal, maaf kalau berlebihan, perkembangan bekam ini menempatkan agama sebagai – paling tidak partially – taruhannya. Maksud saya, bukan tidak mungkin masalah agama terbawa-bawa bila ada hal yang bersifat negatif dalam perkembangannya. Dan itu concern saya sebenarnya.
Soal bahwa sampai sekarang kita – atau lebih tepat mungkin saya – belum sanggup memahami soal bekam, mungkin inilah pelajaran bagi saya bahwa ilmu manusia memang sangat terbatas. Bukan tidak mungkin – dan saya sangat berharap – suatu saat, ruang-ruang “gelap” itu akan terbuka.
Dan inilah yang akhirnya saya pilih jadi topik kultum pagi itu.